"Jika saat ini tidak terbentuk koalisi permanen maka sulit untuk menjalankan pemerintah dengan efektif," katanya, di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, koalisi permanen tersebut bisa dikukuhkan dalam Undang-undang, dan ini menjadi tugas pertama DPR terpilih untuk membuat UU koalisi permanen tersebut. "Jadi partai politik terikat dengan UU koalisi permanen tersebut," tegasnya.
Jimly juga mengusulkan bahwa di parlemen nantinya untuk mendukung pemerintahan yang ada, maka hanya akan ada dua fraksi yaitu gabungan fraksi pemerintah dan fraksi oposisi.
Dikatakannya koalisi permanen tersebut harus mencapai 55 persen atau lebih baik lagi kalau bisa mencapai 60 persen.
Ia mengatakan masa transisi pemerintahan sudah cukup selama 10 tahun terakhir ini. Saat ini harus ada konsolidasi mengenai sistem politik, tata negara dan pemerintahan daerah, untuk menciptakan pemerintahan yang kuat.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut lebih lanjut mengatakan koalisi permanen tersebut bukan hanya berlaku bagi di tingkat pusat tetapi juga disemua daerah di Indonesia.
"Koalisi permanen partai politik tersebut berlaku sampai ke daerah-daerah, untuk menjamin kesinambungan," katanya.
Sementara itu, Guru Besar FISIP UI, Prof. Dr. Eko Prasojo Mag. rer. Publ mengatakan koalisi yang terbentuk antara partai politik sebaiknya maksimal hanya tiga partai saja.
"Koalisi lebih dari tiga partai akan menyulitkan pembentukan kabinet," kata Eko Prasojo.
Ia mengatakan koalisi yang ideal adalah partai yang sama basis ideologinya, dan sifatnya permanen, sehingga lebih mudah menjalankan pemerintahan dan menciptakan pemerintahan yang kuat dan efektif.
"Tidak seperti pada pemilu 2004 koalisi yang warna-warni sehingga menyulitkan jalannya pemerintahan," ujarnya.
Menurut dia, jika dalam penyusunan kabinet hanya memperhatikan kepentingan partai saja, maka kepentingan rakyat akan terabaikan. "Akhirnya pelayanan publik akan tidak akan mengalami perubahan," katanya.(*)
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009