Bogor (ANTARA News) - Pelaksanaan "Quick Count" (QC) atau hitung cepat di Indonesia dinilai memiliki potensi cacat seperti cacat motivasi, metodologi, dan apresiasi.
Penilaian itu disampaikan pakar ilmu statistik Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr Ir Khairil Anwar Notodipuro, MS kepada ANTARA di Bogor, Jumat, sehubungan ramainya pemberitaan mengenai hitung cepat dari berbagai lembaga survei terkait dengan pelaksanaan Pemilu legislatif 2009.
Ia mengemukakan bahwa sebagai suatu metodologi untuk memprediksi hasil Pemilu, hitung cepat memiliki legitimasi akademik dan ilmiah yang tinggi. Teknik dan metode ilmiah yang menjadi basis dari hitung cepat sangat mumpuni dan dapat dipertanggungjawabkan keandalan dan kesahihannya.
Karena itu, kata dia, di negara yang budaya dan iptek-nya maju serta SDM-nya sudah "melek statistik" -- tidak sekedar melek huruf --maka hitung cepat menjadi barometer yang dipercaya untuk memprediksi hasil Pemilu.
Namun, untuk praktik hitung cepat di Indonesia, ia melihat ada potensi mengalami kecacatan, sekurangnya pada tiga potensi cacat tersebut yakni motivasi, metodologi dan apresiasi.
Menurut dia, cacat motivasi karena hitung cepat bisa hanya dipercaya jika ada kejujuran dan integritas penyelenggara, sementara cacat metodologi menyangkut minimnya kemampuan akademik penyelenggara dan belum adanya lembaga sertifikasi yang mampu menilai layak atau tidaknya suatu lembaga untuk menyelenggarakan hitung cepat.
Cacat apresiasi terkait dengan cara masyarakat menerima hasil hitung cepat karena hasil hitung cepat diterima seolah-olah sebagai hasil akhir dari Pemilu sehingga menimbulkan kerawanan konflik.
Dikemukakannya bahwa hitung cepat seringkali menjadi alat pemenangan oleh pihak tertentu. Mulai dari yang paling kasar dengan cara memanipulasi hasil hitung cepat sedemikian rupa sehingga menunjukkan kemenangan dari pihak pemesan.
Metode moderat adalah merekayasa contoh (sample) yang diambil sehingga mengarah pada hasil yang menguntungkan pemesan. Lebih moderat lagi adalah dengan mengumumkan hasil hitung cepat yang memenangkan pihak pemesan secara berulang-ulang dengan kesan seolah olah hasil akhirnya akan sama dengan hitung cepat.
"Apalagi kalau penyelenggara telah menyebut `margin error` kurang dari 5 persen," kata Dekan Sekolah Pascasarjana IPB itu.
Selanjutnya, kata dia, cara yang paling halus adalah hitung cepat dilakukan dengan metode yang benar, tapi hasilnya hanya diumumkan jika menguntungkan pemesan.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009