Saatnya Presiden mempertimbangkan opsi state of emergency sesuai Prinsip necessity. Perppu itu untuk situasi darurat karena virus Corona ini

Jakarta (ANTARA) - Pakar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, Makassar Fahri Bachmid menyarankan Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait pandemi virus Corona atau COVID-19, mengingat urgensi yang sedang terjadi di Indonesia saat ini.

"Saatnya Presiden mempertimbangkan opsi state of emergency sesuai Prinsip necessity. Perppu itu untuk situasi darurat karena virus Corona ini," ujar Fahri Bachmid dalam keterangan tertulisnya, diterima di Jakarta, Senin.

Menurut dia, sudah saatnya Presiden mempertimbangkan opsi keadaan bahaya sesuai dengan doktrin proportional necessity dan self-preservation. Dalam ajaran hukum tata negara, kata dia, ada beberapa ancaman keadaan yang berbahaya, seperti bencana alam, kecelakaan yang dahsyat atau semacam wabah penyakit atau pandemi yang menimbulkan kepanikan, ketegangan dan mengakibatkan mesin pemerintahan konstitusional yang tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

"Keadaan seperti ini tercakup dalam pengertian keadaan darurat sipil yang dapat disebut sebagai walfare emergencies. Dengan demikian maka Presiden dapat menggunakan situasi materil seperti itu untuk menggunakan kewenangan konstitusional eksklusifnya dalam mengatasi keadaan objektif nasional saat ini," tutur dia.

Fahri menyarankan, Presiden dapat mengeluarkan Perppu untuk mengatasi beberapa hambatan hukum dan kebijakan strategis dan substansial, baik pada sektor keuangan, fiskal, moneter, maupun pada lapangan administrasi publik lainnya.

Jika Presiden nantinya mengeluarkan Perppu mengenai COVID-19, kata dia, maka muatannya harus memiliki cakupan yang sangat holistik serta teknis, baik pada lapangan penanganan COVID-19, maupun pada aspek ekonomi, fiskal, serta ketatanegaraan.

Fahri mengatakan itu semua harus diatur secara cermat dan sistemik, seperti pengaturan harmonisasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang wabah penyakit menular dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Hal ini penting agar pencegahan penanganan COVID-19 dapat berjalan sistematis.

Baca juga: Penegakan hukum physical distancing, Pengamat: Makin cepat makin baik

"Hal yang perlu diatur dalam soal ini termasuk masih belum adanya peraturan pelaksana (PP) terkait implementasi UU Kekarantinaan Kesehatan, seperti aturan memaksa serta sanksi social distancing, dan lain-lain, untuk pengaturan sanksi social distancing agar mempunyai daya memaksa, maka idealnya diatur dalam UU," ujarnya.

Menurut Fahri, pada aspek ketatanegaraan, jika dalam keadaan darurat karena COVID-19, Perppu tersebut juga nantinya perlu mengatur penundaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 yang akan dilaksanakan pada 23 September 2020.

"Karena hal tersebut tidak cukup diatur dengan dasar hukum berupa Keputusan Komisi Pemilihan Umum atau semacam edaran. Ini membutuhkan produk hukum setingkat UU," ucapnya menegaskan.

Selain itu, Fahri menambahkan, bahwa Perppu tersebut juga perlu memuat pengaturan tentang perombakan postur Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2020.

Menurut dia, hal ini mendesak dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan nasional saat ini, dengan prioritas untuk mengarahkan seluruh sumber daya nasional yang ada untuk mengatasi COVID-19, termasuk mengalokasikan anggaran negara yang lebih besar.

Baca juga: Putri mendiang guru besar UI curhat pentingnya tetap di rumah

"Hal ini penting mengingat jangan sampai DPR tidak dapat melaksanakan tugas konstitusional secara normal, karena tidak bisa melakukan rapat serta sidang paripurna secara normal," ucap dia.

Materi Perppu, lanjut dia, nantinya juga perlu memuat pengaturan tentang mengamankan ketersediaan logistik obat, disinfektan, penyanitasi tangan, serta alat-alat kesehatan lainnya.

Selain itu, juga menjamin ketersediaan tenaga medis, sukarelawan, memberikan sanksi hukum bagi semua pihak, baik perorangan maupun badan hukum yang secara sengaja mencegah, merintangi ataupun menggagalkan upaya penanggulangan penyebaran COVID-19.

"Perppu juga mengatur tentang pemberian sanksi hukum yang tegas kepada setiap orang atau badan hukum yang secara sengaja menimbun, menguasai alat-alat kesehatan, serta mengatur tentang ketersediaan distribusi dan subsidi bahan pokok dari kelangkaan yang disebabkan oleh panic buying," kata Fahri.

Perppu itu juga harus memuat pengaturan mengenai jaminan keleluasaan pemerintah pusat dan daerah untuk percepatan pengadaan barang dan jasa dalam penanganan wabah COVID-19.

Maka karena kondisi darurat, Fahri menjelaskan bahwa kaidah pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan penanganan COVID-19 terlepas dari instrumen hukum yang diatur dalam Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) No. 13 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa, secara normatif mengatur bahwa dalam kondisi tertentu bisa dilakukan dengan penunjukan langsung. Menurut dia, agar lebih protektif, hal itu dapat diperintahkan lewat Perppu.

Baca juga: Komisi I DPR kawal Kemhan-TNI soal bantuan alat kesehatan Tiongkok

Lebih lanjut Fahri mengatakan pengaturan mengenai pelibatan TNI/Polri dalam mengatasi keadaan tertentu untuk menanggulangi COVID-19 dengan menyelaraskan UU RI No. 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia, dan UU RI No. 2 Tahun 2002 Tentang POLRI, juga perlu diatur dalam Perppu.

"Hal ini penting untuk mengatur sejauh mana peran TNI/Polri sebagai organ negara strategis dalam mengatasi pendemi COVID-19 ini," kata dia.

Untuk diketahui, jumlah kasus orang yang positif virus Corona penyebab COVID-19 di Indonesia hingga Senin (23/3) tercatat sebanyak 579 kasus. Adapun yang sembuh sebanyak 30 orang, dan meninggal sebanyak 49 orang.

Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020