Jakarta (ANTARA) - Merebaknya penyebaran COVID-19 kini telah menjadi pandemi global. Ratusan ribu kasus terkonfirmasi, ribuan pasien meninggal dunia dan virus ini telah menyebar ke 177 negara atau wilayah di seluruh dunia.

Dari sisi jumlah korban, pandemi COVID-19 menelan lebih banyak korban jiwa dibandingkan kasus-kasus pendahulunya, seperti SARS dan MERS.

Namun, sejarah juga mencatat bahwa pandemi layaknya COVID-19 bukan baru ini saja terjadi. Pada pembuka abad 20, Flu Spanyol atau yang dikenal sebagai pandemi Flu 1918 dapat dikatakan sebagai salah satu pandemi paling brutal dalam sejarah peradaban manusia. Pandemi ini menginfeksi sekitar 500 juta orang, seperempat populasi penduduk bumi kala itu.

Berbagai upaya pemerintah di seluruh dunia dalam menanggulangi pesatnya arus penyebaran pandemi ini telah dilakukan, mulai dari kebijakan social distance, menjaga higienitas hingga lockdown.

Dalam tiga bulan terakhir COVID-19 juga telah menjadi mega bintang. Pemberitaan mengenai pandemi COVID-19 juga menjadi agenda utama media, baik dalam skala lokal maupun global.

Bukan hanya itu, pada era hiperkonektivitas seperti saat ini, sumber informasi juga dapat mengalir dari berbagai sumber, selain media mainstream. Media sosial pun turut andil dalam menyebarkan informasi mengenai pandemi COVID-19. Setiap hari, setiap detik, orang terus menerus mendiskusikan perkembangan terbaru terhadap pandemi ini. Setiap orang ingin menjadi yang pertama untuk mengetahui perkembangan terbarunya dan membagikannya dengan orang lain.


Informasi yang Berlebihan
Dari berbagai hingar bingar COVID-19, terdapat satu hal yang masyarakat tidak sadari dan terlupakan, yaitu pemberitaan dan penyebaran informasi terhadap COVID-19 lebih besar dibandingkan jumlah penyebaran virus itu sendiri. Dampaknya adalah kita masuk dalam kondisi yang oleh ilmuwan kategorikan sebagai information overload.

Bawden dkk (1999), peneliti dari Departemen Ilmu Informasi, City University, London, menjelaskan bahwa information overload adalah suatu kondisi dimana informasi justru menjadi penghalang daripada penolong.

Stimulasi berlebihan terhadap kemampuan sensorik manusia dapat membuat manusia mengalami pergeseran persepsi dalam memaknai realitas. Hal ini dapat menimbulkan ketakutan berlebihan di masyarakat. Misalnya, pada fenomena orang-orang yang memborong persediaan bahan makanan pada minimarket atau panic buying.

Dikutip dari CNBC, Karen Gilchrist memaparkan studi yang dipublikasi dalam jurnal medis The Lancet, bahwa masa isolasi atau social distancing yang kini dilakukan oleh masyarakat mampu menyebabkan masalah-masalah psikologis, seperti gelisah, depresi dan trauma yang dikenal dengan post-traumatic stress disorder (PTSD).

WHO sendiri telah menyarankan untuk mengurangi proporsi menonton, membaca dan mendengarkan informasi mengenai COVID-19 yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan mental bagi pembacanya.


Kemampuan adaptasi

Guncangan akibat pandemi COVID-19 telah menyentuh berbagai sisi kehidupan manusia, mulai dari sektor ekonomi, pendidikan, transportasi dan berbagai sektor lainnya.

Sektor ekonomi mendapatkan pukulan keras dari pandemi ini. Pemerintah Indonesia pun dihadapkan pada pilihan kebijakan yang sifatnya dilematis. Penguncian wilayah untuk memutus rantai penyebaran COVID-19 dapat berujung pada ambruknya ekonomi nasional.

Dari sisi individu, situasi global saat ini mirip seperti yang dideskripsikan oleh Alvin Toffler dalam bukunya Future Shock pada 1970. Ia menjelaskan bahwa kemampuan manusia dalam beradaptasi diuji saat menghadapi berbagai macam perubahan yang terjadi dalam waktu yang sangat cepat.

Dalam situasi pandemi seperti inilah seseorang diasah kemampuan adaptasinya dalam menghadapi situasi sulit. Matt D’avella, seorang sutradara asal Amerika Serikat, membagi kemampuan adaptasi seseorang dalam axis ketidakpastian (axis of uncertainty) yang dapat diamati pada gambar di bawah ini.

Gambar 1. Axis Ketidakpastian (ANTARA/HO-Faris Budiman)

Gambar 1. Axis Ketidakpastian

Kuadran satu adalah orang-orang yang panik dan tidak ada persiapan dalam menghadapi situasi sulit. Orang-orang ini adalah mereka yang terlalu berlebihan dalam memaknai informasi perihal pemberitaan COVID-19. Kepanikan yang berlebihan cenderung membuat mereka salah dalam mengambil keputusan.

Kuadran kedua adalah mereka yang panik dan persiapannya berlebihan dalam menghadapi situasi sulit. Tipe orang seperti ini juga cenderung ceroboh dalam mengambil keputusan terkait pencegahan pandemi COVID-19.

Baca juga: Hadapi pandemi, IABI: Perlu komitmen bersama cegah "panic buying"

Information overload yang saya jelaskan sebelumnya berpeluang membuat masyarakat terjerumus dalam kuadran satu dan dua.

Baca juga: Ikhtiar kalahkan pandemi COVID-19 dengan antivirus Ebola dan Malaria

Kuadran ketiga adalah mereka yang tidak panik atau santai, namun tidak ada persiapan dalam menghadapi situasi sulit. Orang-orang pada kuadran ketiga ini cenderung pandang enteng terhadap pandemi COVID-19 yang tengah terjadi saat ini. Akibatnya mereka tidak mempersiapkan diri.
Baca juga: Korsel, China, Jepang bahas kerja sama terkait pandemi virus corona

Alih-alih menggunakan masker di tempat umum, mereka justru percaya bahwa tanpa masker pun hidup akan baik-baik saja.

Harapannya, kita masuk dalam kuadran keempat, yakni orang-orang yang tenang dan melakukan persiapan yang cukup dalam menghadapi situasi sulit. Kita tidak perlu resah apalagi depresi, hal yang perlu kita lakukan adalah optimis namun tetap waspada.

Pilah-pilahlah informasi mengenai pandemi COVID-19 yang berseliweran di berbagai lini atau medium, dan prioritaskan informasi pada sumber yang terpercaya, karena prajurit terakhir dalam menghadapi pandemi ini adalah diri kita sendiri.

*) Faris Budiman Annas adalah Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Paramadina.

Baca juga: Ikhtiar kalahkan pandemi COVID-19 dengan antivirus Ebola dan Malaria
Baca juga: Hadapi pandemi, IABI: Perlu komitmen bersama cegah "panic buying"

Copyright © ANTARA 2020