Jakarta (ANTARA News) - Dalam sebuah peristiwa yang jarang sekali terungkap ke publik, Israel dan Amerika Serikat berlainan pendapat, bahkan kedua negara sempat tegang, setelah terungkapnya misteri dibalik abstain AS terhadap resolusi Dewan Keamanan perihal Gaza Kamis pekan lalu.

Baik Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS maupun Gedung Putih menyatakan klaim Perdana Menteri Israel Ehud Olmet bahwa dia memperoleh persetujuan Presiden AS George Bush namun diputarbalikkan oleh Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice sehingga AS abstain dalam resolusi DK PBB tersebut, adalah bohong belaka.

Juru Bicara Deplu AS Sean McCormack mengatakan cerita Olmert tentang apa yang terjadi dalam pembicaraan dengan Bush adalah "100 persen, seluruhnya, sepenuhnya tidak benar," sementara Deputi Sekretaris Pers Gedung Putih Tony Fratto menyebut "ada ketidakakuratan (dalam pernyataan Olmert itu)."

Selama bercermah di depan para kepala otoritas Israel di Ashkelon, Senin, Olmert menyebut Rice telah berbuat memalukan manakala Menlu AS itu memerintahkan mengubah dukungan AS (bagi penentangan) resolusi DK PBB yang telah disiapkanya, setelah Olmert mengintervensi Bush.

Olmert mengatakan dia berbicara dengan Bush sehingga Presiden AS itu menghentikan ceramahnya di Philadelphia, untuk menjamin bahwa AS tidak akan mendukung resolusi DK PBB itu.

"Saya berkata, 'Sambungkan saya ke Presiden Bush. Mereka menjawab, dia (Bush) sedang memberi kuliah di Philapdelphia. Saya katakan (pada mereka) saya tidak peduli, 'Saya harus berbicara dengannya sekarang juga. Dia lalu turun dari podium dan berbicara dengan saya," aku Olmert seperti dikutip The Jerusalem Post, Rabu.

Menurut Olmert, dia berkata pada Bush agar AS jangan mendukung resolusi DK PBB itu dan Bush kemudian memerintahkan Rice untuk abstain.

"Dia (Rice) sedikit dipermalukan," klaim Olmert.

Sebaliknya, McCormack menyatakan Rice telah memutuskan sejak Rabu pagi bahwa dia tidak akan memveto resolusi itu setelah para menteri Arab menolak tekanan AS untuk merendahkan intonasi pernyataan Presiden DK PBB. Penolakan ini membuat Rice harus memilih antara mendukung draft final resolusi itu atau abstain.

"Jadinya anda memiliki dua kemungkinan: mendukung atau abstein, dan dia (Rice) memutuskan, berdasarkan negara di mana negosiasi berlangsung dalam kerangka inisiatif (Presiden Mesir Hosni) Mubarak, bahwa abstain merupakan kemungkinan terbaik agar negosiasi (damai Israel-Palestina) mengalami kemajuan dan benar-benar mengatasi situasi di lapangan," jelas McCormack.

Dia mengungkapkan, Rice telah berbicara dengan Bush baik sebelum maupun setelah Presiden AS itu berbicara dengan Olmert, namun menandaskan, "dengan jaminan 100 persen bahwa niat Rice, kembali, berbicara dengan Presiden (Bush) adalah bahwa dia (menegaskan) akan abstain."

Menanggapi komentar Washington ini, seorang pejabat pada kantor PM Olmert hanya singkat berucap, "Pernyataan Perdana Menteri Senin itu adalah benar sesuai dengan apa yang terjadi."

Pejabat Israel ini berusaha mendinginkan insiden itu dengan mengatakan bahwa persoalan tersebut telah berakhir dan tidak akan berdampak apa-apa.

Pejabat itu juga mengatakan bahwa dia tidak mengkhawatirkan setiap pembicaran Olmert dengan Rice pada Selasa itu untuk mengklarifikasi insiden tersebut, atau setiap pesan yang direlai dari Jerusalem ke Washington.

Pengakuan Washington mengenai insiden itu secara tidak langsung membenarkan pernyataan Menteri Luar Negeri Israel Tzipi Livni yang mengaku telah tujuh kali mengadakan pembicaraan telepon yang sulit dengan Rice pada hari pemungutan suara untuk resolusi DK PBB itu dan Rice telah mengungkapkan padanya bahwa AS mungkin tidak akan memveto resolusi itu atau bersikap abstain saja.

Rice menghabiskan waktu selama tiga hari di New York bolak-balik antara ruang sidang markas besar PBB, bertemu dengan para menteri Arab dan sekutu-sekutunya Inggris dan Prancis.

Dia lalu mengatakan alasan mengapa ia memilih abstain karena Rice merasa resolusi DK PBB itu mungkin sedikit prematur.

Para pejabat Israel mengaku perbedaan pendapat ini tidak akan berdampak apa-apa, lebih karena Rice akan segera meninggalkan posnya kurang dari seminggu ini.

Pernyataan Olmert itu sendiri ditafsirkan sebagai refleksi dari ketidakpuasan Israel atas cara penanganan Rice dalam menyikapi resolusi Dewan Keamanan PBB tentang serangan Israel ke Gaza.

Pakar Timur Tengah Steven Spiegel menggambarkan insiden politik itu sebagai "kecerobohan paling buruk yang dilakukan seorang Perdana Menteri Israel sepanjang sejarah."

"Anda jadi mengetahu apa yang dipikirkan seorang perdana menteri, jika pun dugaan anda benar, anda benar-benar harus merahasiakannya, dan jika itu tidak benar, mengapa anda ingin mengarang cerita yang justru akan mempermalukan baik pemerintahan Bush maupun Israel dan mengundang kritik tajam dari pihak yang berseberangan dengan Israel," kata Direktur Center for Middle East Development pada UCLA itu kepada harian Israel, Jerusalem Post.

"Tak peduli bagaimana melakukan itu, membesar-besarkan, berdusta, maka semua kebenaran, seluruh hal yang membuat itu semua terlihat menjadi buruk (karena nila setitik, rusak susu sebelanga, red)," kata Spiegel. (*)


Sumber: The Jerusalem Post

Oleh
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009