Yogyakarta (ANTARA News) - Vonis hukuman penjara dua tahun oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Sleman kepada Kapten Pilot Marwoto Komar terdakwa kasus kecelakaan pesawat Garuda Indonesia GA 200 di Bandara Adisutjipto Yogyakarta, 7 Maret 2007 menjadi ancaman bagi penerbangan di Indonesia, baik untuk pilot internasional maupun dalam negeri.
"Putusan pidana terhadap pilot yang sedang menjalankan profesinya ini menjadikan dunia penerbangan was-was, karena pilot akan berpikir panjang saat akan menerbangkan pesawat dan ini menjadi tekanan mental sebab mereka dihantui kekhawatiran dipidanakan," kata Presiden Federasi Pilot Indonesia, M Napitupulu seusai mendengarkan putusan sidang di PN Sleman, Senin.
Menurut dia, setiap pilot pasti berupaya bisa menerbangkan pesawat dengan selamat dari berangkat hingga sampai tujuan, sehingga tidak mungkin ada kesengajaan tidak menjalankan prosedur dengan benar.
"Apapun akan dilakukan pilot untuk menyelamatkan penerbangan jika terjadi permasalahan dalam pesawat, karena ini sudah merupakan profesi dan penghidupan kami selama ini," katanya.
Ia mengatakan, putusan hakim yang berdasarkan pertimbangan hukum materiil nasional dan mengabaikan hukum internasional sangat mengecewakan karena selama ini Indonesia telah menyetujui aturan yang berlaku dalam penerbangan internasional yakni Annex 13, sehingga hal tersebut sangat janggal karena seharusnya Indonesia patuh terhadap hukum internasional tersebut.
"Pertimbangan hakim yang menyebutkan hukum nasional kedudukannya lebih tinggi dari hukum internasional sangat disayangkan, karena seharusnya Indonesia yang telah masuk dalam `International Civil Aviation Organization` (ICAO) harus patuh dan menghormatinya," katanya.
Ia mengatakan, vonis tersebut juga akan membuat pilot asing tidak mau menerbangkan pesawat di Indonesia karena mereka khawatir dengan ancaman hukuman. "Setelah Eropa melarang pesawat Indonesia terbang ke kawasan tersebut maka tidak menutup kemungkinan bahwa mereka juga tidak akan mau terbang ke Indonesia," katanya.
Sementara itu Presiden Asosiasi Pilot Garuda (APG), Stefanus Geraldus mengatakan sangat kecewa dengan putusan tersebut karena seharusnya kasus tersebut diselesaikan dalam mahkamah profesi.
"Hukuman untuk kesalahan ini sifatnya administrasi dan bukan pidana seperti dicabut lisensi terbangnya, atau hukuman tidak boleh terbang dalam kurun waktu tertentu. Jadi, bukan dipidanakan atau dipenjara dan Indonesia juga wajib mentaati aturan yang ada dalam Annex 13," katanya.
Sementara itu anggota Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan HAM RI, Prof Dr Priyatna Abdulrrasyid mengatakan, seharusnya putusan tersebut mengacu pada aturan hukum internasional dan bukan atas dasar hukum nasional karena Indonesia telah menyatakan diri masuk dan menyetujui dalam aturan hukum ICAO.
"Alasan hakim yang mengatakan bahwa hasil penyidikan KNKT boleh dijadikan alat bukti di persidangan sangat bertentangan dengan hukum internasional, karena penyelidikan tersebut bukan untuk menghukum tetapi mencegah agar kejadian serupa tidak terulang lagi," katanya.
Sedangkan Ketua Ikatan Dosen dan Instruktur Penerbang, Yaddy Supriyadi menyatakan vonis tersebut akan menghambat program upaya keselamatan penerbangan dimana pilot harus melaporkan setiap terjadi insiden dalam penerbangan.
Program yang mulai diberlakukan Januari 2009 ini akan terhambat, karena pilot tidak akan bersedia melaporkan setiap ada insiden dalam penerbangan sebab mereka khawatir terkena sanksi pidana.
"Padahal dalam program ini ditekankan agar pilot melaporkan setiap insiden dan mereka tidak akan dihukum sebab saat ini penyelidikan kejadian dalam penerbangan tidak lagi berdasarkan aksiden tetapi lebih ke insiden untuk evaluasi dan perbaikan," katanya. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009