Jakarta (ANTARA) - Avigan dan klorokuin fosfat, keduanya disebutkan Presiden Joko Widodo sebagai obat yang dipersiapkan untuk pasien positif COVID-19 di Indonesia.
Obat-obat tersebut, menurut Presiden, berasal dari hasil riset dan pengalaman beberapa negara untuk bisa mengobati pasien COVID-19 sesuai resep dokter.
Rencananya akan ada dokter keliling dari rumah ke rumah melalui rumah sakit dan puskesmas di kawasan terinfeksi untuk mengatasi penyebaran SARS-CoV-2. Dan Presiden juga meminta BUMN farmasi yang bisa memproduksi obat tersebut untuk memperbanyak produksinya.
"Antivirus sampai sekarang belum ditemukan dan ini yang saya sampaikan itu tadi obat. Obat ini sudah dicoba oleh 1, 2, 3 negara dan memberikan kesembuhan yaitu avigan, kita telah mendatangkan 5.000 dan dalam proses pemesanan 2 juta," kata Presiden.
Lalu, sudah siap tiga juta klorokuin fosfat yang sebelumnya sudah digunakan oleh 10 rumah sakit di China untuk mengobati pasien COVID-19.
Presiden mengatakan, kecepatan mencari informasi-informasi tersebut yang dilakukan Pemerintah untuk menyelesaikan pandemi COVID-19 di Indonesia dilakukan.
Baca juga: Presiden Jokowi: Pemerintah siapkan dua jenis obat untuk COVID-19
Baca juga: Imunitas kunci utama saat belum ada obat lawan COVID-19
Obat antivirus Ebola
Senyawa favipiravir, itu yang ada dalam obat bernama avigan yang, menurut Koordinator peneliti pada Center for Drug Discovery and Development di Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Masteria Yonavilsa Putra, merupakan antivirus yang pernah digunakan saat terjadi outbreak virus Ebola.
Obat tersebut merupakan salah satu produksi perusahaan farmasi Jepang, sejak 2014.
Masteria mengaku belum pernah membaca literatur review avigan yang menyebutkannya untuk mengobati COVID-19. “Tapi di rilis berita Jepang di pakai untuk uji klinis penyembuhan corona”.
Laporan ilmiah dalam Disaster Medicine and Public Health Preparedness yang dipublikasi secara daring oleh Cambridge University Press pada Desember 2014, volume 9 issue 1, berjudul Favipiravir: A New Medication for the Ebola Virus Disease Pandemic milik Takashi Nagata, Alan K Lefor, Manabu Hasegawa dan Masami Ishii memang disebutkan favipiravir adalah obat antivirus baru yang dapat digunakan dalam munculnya pandemi virus seperti virus Ebola, virus pandemi influenza H1N1 2009, demam Lassa, dan demam berdarah Argentina.
Laporan ilmiah menyebutkan, meskipun favipiravir adalah salah satu pilihan untuk pengobatan pasien dengan virus Ebola, namun ada beberapa kekhawatiran.
Pertama, uji klinis favipiravir pada pasien yang terinfeksi virus Ebola belum dilakukan, dan studi lebih lanjut diperlukan. Kedua, favipiravir memiliki risiko teratogenisitas dan embriotoksisitas.
Oleh karena itu, Departemen Kesehatan, Kesejahteraan dan Perburuhan Jepang telah menyetujui obat ini dengan peraturan ketat untuk produksi dan penggunaan klinisnya.
Namun, karena epidemi virus Ebola yang muncul di Afrika Barat, pada 15 Agustus 2014, Menteri Kesehatan, Kesejahteraan dan Tenaga Kerja Jepang menyetujui penggunaan favipiravir, jika diperlukan.
Laporan ilmiah yang dibuat Nagata dan rekan-rekan penelitinya memang dikeluarkan bertujuan untuk mengadvokasi persetujuan cepat dan peraturan yang kurang ketat untuk penggunaan obat-obatan eksperimental seperti favipiravir dalam keadaan darurat.
“Data terbarunya saya belum tahu apakah sudah approval, tapi dari yang di rilis di Jepang dan China itu sudah digunakan mereka untuk terapi penyembuhan corona,” kata Masteria lagi.
Baca juga: Pandemi COVID-19 momentum perkuat industri farmasi, sebut LSM
Baca juga: WHO: Hindari konsumsi ibuprofen untuk obati gejala virus corona
Antimalaria
Klorokuin fosfat, kata Masteria, adalah senyawa obat yang digunakan sebagai antimalaria. Diketahui, salah satu senyawa yang ada dalam kina adalah klorokuin.
Apakah dengan demikian kina dapat digunakan untuk mengobati pasien COVID-19?
“Sebagai herbal mungkin bisa,” ujar dia.
Dalam laporan ilmiah International Journal of Antimicrobial Agents yang dipublikasi oleh Elsevier B V pada Maret 2020, volume 55 issue 3, berjudul Chloroquine for the 2019 novel coronavirus SARS-CoV-2 milik Philippe Colson, Jean-Marc Rolain dan Didier Raoul menyebutkan dalam episode terbaru dari virus corona tipe baru SARS-CoV-2, mereka menemukan contoh spektakuler dari kemungkinan reposisi obat, terutama klorokuin.
Mereka, 20 tahun yang lalu telah mengusulkan untuk menguji klorokuin secara sistematis pada infeksi virus karena telah terbukti efektif secara in vitro terhadap beragam virus. Obat itu memiliki beberapa aktivitas, salah satunya adalah alkali fagolisosom yang menghambat langkah-langkah replikasi virus tergantung pH rendah, termasuk fusi dan uncoating.
Mekanisme lain dari aktivitas antivirus memang tidak dijelaskan dengan baik.
Pada saat epidemi virus corona akut yang berhubungan dengan SARS pada 2003, beberapa molekul diuji untuk menilai efektivitasnya terhadap virus itu.
Terdapat antibiotik teicoplanin, agen antistaphylococcal yang telah membuktikan kemanjuran secara in vitro, dan itu juga terjadi untuk kasus klorokuin yang pada konsentrasi efektif 50 persen (EC50) kira-kira 8 μM, dan ketika ditambahkan ke kultur sel sebelum dan setelah terpapar virus.
Temuan itu akhirnya dilupakan karena hilangnya SARS karena alasan yang tidak jelas atau dijelaskan.
Virus corona baru yang saat ini diisolasi di China, dengan kecepatan yang mengejutkan, dievaluasi berkenaan dengan kepekaannya terhadap obat yang sudah digunakan. Dengan demikian, obat antivirus baru remdesivir serta klorokuin, pada EC50 1,1 μM, terbukti efektif dalam mencegah replikasi virus itu.
Klorokuin mungkin merupakan salah satu obat yang paling diresepkan di dunia. Faktanya, semua orang Eropa yang mengunjungi daerah geografis endemis malaria selama beberapa dekade menerima profilaksis klorokuin dan meneruskannya selama dua bulan setelah mereka kembali.
Selain itu, penduduk setempat mengambil klorokuin terus menerus, dan pengobatan malaria telah lama didasarkan pada obat ini. Selain itu, hydroxychloroquine telah digunakan selama beberapa dekade dengan dosis yang jauh lebih tinggi (hingga 600 miligram per hari) untuk mengobati penyakit autoimun.
Sulit menemukan produk yang saat ini memiliki profil keamanan yang lebih baik daripada klorokuin. Selain itu, biayanya dapat diabaikan.
Oleh karena itu, kemungkinan penggunaannya baik dalam profilaksis pada orang yang terpapar virus corona baru dan sebagai pengobatan kuratif mungkin akan segera dievaluasi oleh rekan-rekan peneliti mereka di China.
Colson dan rekan-rekan penelitinya menyebutkan jika data klinis mengkonfirmasi hasil biologis, maka klorokuin menjadi salah satu yang paling sederhana dan termurah untuk mengobati dan mencegah penyakit pernafasan yang menular terkait dengan virus corona tipe baru.
Lebih lanjut, Masteria menjelaskan saat ini belum ada satu obat untuk mengatasi COVID-19 yang disebutkan Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO). Sehingga upaya terapi obat yang digunakan memang berdasarkan obat-obat yang sudah ada di pasaran.
Terapi obat yang dilakukan salah satunya menggunakan avigan dan obat yang memiliki senyawa klorokuin tersebut. Dalam uji klinis yang diberitakan di Jepang dan China memang menyebutkan hasil yang positif, kata Masteria.
Jika pun obat-obat tersebut akan digunakan untuk terapi pada pasien COVID-19 dan mereka yang sudah terinfeksi SARS-CoV-2 di Indonesia, ia meyakini Kementerian Kesehatan sudah memiliki data lengkapnya.
Baca juga: Akademisi: obat herbal mampu lawan COVID-19
Baca juga: Jambu biji dan senyawa potensial pencegah COVID-19
Tes cepat COVID-19
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto mengatakan pemerintah akan menyiapkan sekitar satu juta kit atau perangkat tes cepat untuk memeriksa hingga 700 ribu populasi yang berisiko tertular virus corona tipe baru yang pertama merebak di Wuhan, Provinsi Hubei, China pada Desember 2019.
"Data perhitungan yang kita miliki, population at risk atau jumlah kelompok orang yang berisiko, pada kisaran angka 600 ribu sampai 700 ribu. Oleh karena itu pemerintah akan menyiapkan sekitar satu juta kit untuk pemeriksaan secara massal di masyarakat," kata Yurianto.
Pemeriksaan massal tersebut dilakukan melalui analisis risiko, yaitu hanya orang-orang yang memiliki risiko tinggi tertular SARS-CoV-2. Orang-orang dengan risiko rendah tidak akan diperiksa dalam pemeriksaan massal tersebut.
Penilaian risiko untuk pemeriksaan massal tersebut dilakukan dengan melihat riwayat perjalanan seseorang yang positif selama 14 hari ke belakang.
Bila pasien positif COVID-19 berada di rumah maka seluruh anggota keluarga harus diperiksa. Sedangkan bila pasien positif terinfeksi selama 14 hari terakhir pernah bekerja di kantor, maka seluruh pekerja yang berada di ruangan tersebut akan diperiksa.
Metode uji COVID-19 yang dilakukan juga tidak menggunakan pengambilan sampel swab di ujung hidung dan tenggorokan, melainkan menggunakan sampel darah yang diambil lalu diperiksa menggunakan kit dan hasilnya didapatkan dalam waktu kurang dari dua menit.
Yurianto mengakui bahwa sensitivitas pemeriksaan dengan metode ini tidak seperti metode reaksi berantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR) yang akurat.
Pemeriksaan menggunakan perangkat baru ini membutuhkan adanya imunoglobin atau zat yang muncul dihasilkan dari tubuh sebagai respon adanya virus di dalam tubuh.
"Sudah barang tentu pada kasus (pasien COVID-19) yang sudah sembuh pasti akan positif. Bisa saja yang sudah terinfeksi hasilnya negatif, karena respon imunoglobinnya belum terbentuk dan ini membutuhkan waktu satu sampai dengan enam hari," kata Yurianto.
Pemeriksaan massal ini adalah penapisan awal atau skrining bagi masyarakat yang berisiko tertular COVID-19. Apabila hasil skirining melalui tes massal menunjukkan positif, orang tersebut akan diperiksa kembali melalui metode pemeriksaan di laboratorium untuk mengonfirmasi hasil positif dari tes awal.
Cara-cara itu yang menjadi ikhtiar untuk cepat menemukan potensi kasus positif COVID-19 dan yang sudah terjangkit SARS-CoV-2 di tengah masyarakat dan segera diatasi maupun dicegah dengan terapi obat yang selanjutnya diresepkan para dokter.*
Baca juga: Facebook Indonesia "take-down" iklan masker dan klaim obat corona
Baca juga: Dampak corona, Kalbe tingkatkan produksi obat herbal jahe 50 persen
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020