Dengan ekonomi yang terus terhenti, semakin jelas penghancuran permintaan terus meningkat
New York (ANTARA) - Minyak mentah AS, West Texas Intermediate (WTI), jatuh 10,7 persen pada akhir perdagangan Jumat (Sabtu pagi WIB), mencatat kerugian mingguan terbesar sejak Perang Teluk 1991 ketika pandemi virus corona mengeringkan permintaan global dan pejabat di Washington mengatakan seorang utusan akan menuju Arab Saudi untuk menangani dampak dari perang harga minyak Saudi-Rusia.
Minggu ini menampilkan penjualan besar-besaran selama empat hari karena pandemi yang terus meningkat membuat orang tidak bisa mengemudi dan memesan tiket penerbangan. Peramal utama seperti raksasa perdagangan Vitol dan peneliti energi IHS Markit mengatakan permintaan minyak bisa turun sebanyak 10 persen. Harga minyak naik tajam pada Kamis (19/3/2020) setelah hari-hari dilanda penjualan, tetapi reli tidak berlangsung lama.
Harga minyak mentah AS mencatat kerugian mingguan sebesar 29 persen, yang paling curam sejak awal Perang Teluk AS/Irak di tahun 1991. Minyak mentah Brent turun sebesar 20 persen. Kedua acuan ukur telah jatuh selama empat minggu berturut-turut.
“Dengan ekonomi yang terus terhenti, semakin jelas penghancuran permintaan terus meningkat. Apa pun upaya yang dilakukan untuk memangkas produksi di AS dan belanja modal, itu tidak cukup sekarang," kata John Kilduff, mitra di Again Capital Management di New York.
Minyak mentah berjangka Brent turun 1,49 dolar AS atau 5,2 persen, menjadi menetap di 26,98 dolar AS per barel. Minyak mentah berjangka AS untuk April turun 2,69 dolar AS atau 10,7 persen, menjadi ditutup pada 22,53 dolar AS per barel.
Kontrak minyak AS bulan depan berakhir pada Jumat (20/3/2020). Sementara kontrak minyak mentah AS yang lebih aktif untuk Mei ditutup turun 3,28 dolar AS atau 12,7 persen, menjadi 22,63 dolar AS per barel.
Minyak mentah AS telah kehilangan setengah nilainya dalam dua minggu terakhir, dan Brent telah turun sekitar 40 persen, karena pandemi virus corona telah memangkas permintaan pada saat yang sama dengan gagalnya pengurangan produksi yang terkoordinasi oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan produsen sekutu termasuk Rusia.
Para pejabat AS bergegas untuk merespons pada Jumat (20/3/2020), mengatakan mereka akan mengirim pejabat Departemen Energi AS ke Arab Saudi selama beberapa bulan untuk bekerja dalam menstabilkan pasar energi. Juga, regulator negara bagian Texas berbicara dengan Sekretaris Jenderal OPEC Mohammad Barkindo tentang kemungkinan pengurangan produksi global.
Regulator Texas belum melakukan intervensi untuk memangkas produksi di antara produsen negara itu sejak 1973. American Petroleum Institute menentang gagasan itu pada Jumat (20/3/2020), mengatakan kuota tidak bekerja.
"Sejauh tanggapan terkoordinasi dengan OPEC, sulit untuk melihat rencana datang bersama di sepanjang garis itu," kata Kilduff.
Harga turun tajam tepat sebelum penutupan Jumat (20/3/2020), karena dana lindung nilai dan manajer uang lainnya bergegas keluar dari kontrak pada hari terakhir perdagangan, mendorong kontrak April yang berakhir turun dua kali lipat dari kontrak Mei saat ini, kata Bob Yawger, direktur Energy Futures untuk Mizuho.
Arab Saudi mengatakan akan mendorong produksinya ke rekor 12,3 juta barel per hari dan memesan kapal tanker untuk mengirim minyak ke seluruh dunia, menolak permintaan untuk mengekang produksi. Pejabat terpilih AS telah mendesak pemerintah Trump untuk terlibat.
Pedagang dan analis berebut untuk merevisi turun perkiraan permintaan minyak, karena penguncian pemerintah untuk menahan wabah virus corona dengan cepat memotong konsumsi bahan bakar.
"Permintaan global dapat dengan mudah turun 10 juta barel per hari atau lebih," kata Giovanni Serio, kepala penelitian di Vitol. Lainnya, termasuk IHS Markit dan Standard Chartered bank, telah membuat prediksi yang sama.
Baca juga: Harga minyak "rebound" dengan rekor kenaikan satu hari terbesar
Baca juga: Minyak AS anjlok ke terendah 18 tahun, 'lockdown' picu krisis pasar
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020