Jakarta (ANTARA News) - Aktivis LSM dari Komunitas Lentera Nancy Samola menyatakan, poligami atau suami yang memiliki istri lebih dari satu, merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Menurut Nancy yang juga caleg Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan), di Jakarta, Sabtu, tidak ada satupun perempuan di dunia ini, yang merelakan suaminya menikah kembali. "Mohon dipahami, bahwa poligami adalah masalah penyakit sosial, dan bukan dalam konteks agama apalagi terkait materi kampanye Pemilu," ujar Nancy menanggapi pernyataan Solidaritas Perempuan Indonesia (SPI) tentang daftar caleg DPR RI yang menjadi pelaku poligami dan pendukung poligami. Lebih lanjut Nancy mengatakan, Komunitas Lentera telah membuat survei kualitatif kepada sejumlah responden perempuan, yang suami atau ayahnya menikah kembali. Hasilnya cukup mencengangkan, yakni para perempuan tersebut dengan perasaan sedih, akhirnya terpaksa merelakan orang yang dicintainya, untuk "berbagi" dengan perempuan lain. "Kondisi memprihatinkan ini biasanya terjadi pada istri pertama, yang tidak menyangka suaminya mendua ke perempuan lain. Mereka merasa dikhianati, karena sang suami diam-diam menikah lagi," kata dia. Nancy berpendapat, pemerintah seharusnya memiliki aturan yang tegas, tentang boleh tidaknya suami berpoligami di UU Perkawinan. Apalagi persoalan poligami biasanya seiring dengan kasus-kasus nikah siri, yang selama ini dipersoalkan oleh para istri. Ia mengakui, masalah poligami merupakan masalah sosial di Indonesia yang sifatnya klasik sejak jaman dulu. Namun demikian pihaknya optimis, jika pemerintah berniat memiliki kemauan politik melakukan perubahan, maka masalah poligami, dan termasuk nikah siri, tidak akan berlarut-larut hingga kini. "Pemerintah juga harus segera memperbaiki ketahanan ekonomi nasional. Negara yang banyak terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan, biasanya akibat minimnya lapangan kerja bagi kaum perempuan," ujaranya. Ia juga mengakui selama ini isu poligami lebih banyak dikaitkan sebagai isu agama daripada isu sosial. Sehingga pembelaan para pelaku poligami sering menggunakan dalil agama ketimbang keadilan. Padahal, poligami merupakan problem sosial kemasyarakatan. "Dalam kacamata saya, poligami lebih berpengaruh buruk pada istri pertama ketika suami menikah kembali. Kondisi serupa juga terjadi pada istri kedua, ketika sang suami beristri ketiga dan seterusnya," tandas dia. Nancy yang juga staf pengajar di International College menambahkan, dengan berpraktik poligami maka mau tidak mau kebutuhan ekonomi keluarga akan membengkak, seiring dengan bertambahnya istri. Apalagi selama ini, belum ada aturan formal yang spesifik mengenai poligami, karena hanya UU Perkawinan menyebutkan beberapa prasayarat jika pria ingin berpoligami, antara lain, bila sang istri tidak lagi mampu melayani suami dan pria dapat menikah lagi jika sudah mengantongi izin dari sang istri pertama. (*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009