Menurut Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Berry Nahdian Forqan, dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA News di Jakarta, Jumat, REDD dapat dilihat sebagai kegagalan negosiasi untuk mengurangi dampak perubahan iklim generasi kedua yang akan muncul pasca 2012.
Berry berpendapat, REDD merupakan wujud penyederhanaan dan kedangkalan pola pikir dengan hutan sebagai ekosistem kompleks hanya disempitkan sebagai transaksi ekonomi jual-beli karbon.
Ia memaparkan, hal itu dapat diindikasikan dari catatan Bank Dunia yang memperkirakan bahwa untuk mengurangi deforestrasi sebesar 10-20 persen diperlukan biaya hingga 20 milyar dolar per tahun.
Sementara laporan lainnya yang disampaikan kepada UNFCCC atau Badan PBB untuk Perubahan Iklim menyatakan bahwa diperlukan biaya hingga 185 miliar per tahun untuk mencegah kehilangan hutan alam seluas 148 juta hektar di 40 negara pemilik hutan.
Menurut Berry, besarnya dana tersebut menarik perhatian para negara pemilik hutan untuk terlibat dalam projek REDD.
Padahal, skema pembiayaan REDD tidak dibenarkan berbasis pasar karena tidak berkelanjutan dan tidak menjawab akar persoalan deforestrasi dan degradasi lahan.
Selain itu, perdagangan karbon tidak boleh menjadi bagian dari proyek REDD karena hanya akan memberikan izin kepada sejumlah negara untuk tidak menurunkan emisi domestik sebagai bentuk tanggung jawab perubahan iklim.
Mengingat masyarakat adat merupakan komunitas yang paling rentan terkena dampak dari perubahan iklim, maka hak-hak masyarakat adat harus dilindungi.
Walhi menyatakan, jalan keluar terbaik tanpa resiko yang bisa diambil pemerintah Indonesia adalah memberikan apresiasi dan pengakuan atas inisiatif masyarakat adat yang telah menyelamatkan kawasan hutan dari proses penghancuran. (*)
Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009