Jakarta (ANTARA News) - Koalisi Anti Utang (KAU) mendesak pemerintah Indonesia harus memiliki strategi ekonomi domestik demi melindungi kepentingan rakyat dari serangan utang, eksploitasi sumber daya alam dan liberalisasi pasar.
"Perlu strategi ekonomi yang lebih komprehensif agar Indonesia tidak kembali dalam jebakan utang," kata Ketua Koalisi Anti Utang (KAU), Dani Setiawan, kepada ANTARA, di Jakarta, Jumat dinihari.
Demikian diungkapkan Dani menanggapi berakhirnya pertemuan negara-negara G20 di London, Inggris, yang juga dihadiri 20 pemimpin negara-negara maju dan berkembang termasuk Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
Secara garis besar pertemuan G20 tahun ini lebih membahas tiga isu utama yaitu upaya pemulihan ekonomi akibat krisis global, mendorong pertumbuhan ekonomi, reformasi dan penambahan jumlah resources (dana) dari institusi moneter untuk membantu negara-negara berkembang dan miskin.
Pertemuan G-20 ujarnya, lebih digunakan negara-negara maju untuk mempromosikan utang baru bagi negara-negara berkembang melalui reformasi Lembaga Keuangan Internasional (IFIs) yang menjadi agenda menguatkan kembali peran Bank Dunia dan IMF dalam penyebaran utang luar negri yang semakin memiskinkan negara-negara berkembang.
Menurut Dani, transaksi utang luar negeri telah memaksa Indonesia terus melaksanakan kewajiban pembayaran utang luar negerinya meskipun sumber keuangan negara terbatas.
Sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, diutarakannya, pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri menunjukkan tren yang meningkat.
"Sejak awal masa pemerintahan presiden SBY di tahun 2005 sampai dengan September 2008 total pembayaran bunga dan cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp277 triliun. Sedangkan total penarikan pinjaman luar negeri baru dari tahun 2005 sampai dengan September 2008 sebesar Rp101,9 triliun," katanya.
Menurut catatan, pemerintah dalam revisi APBN 2009 menaikkan tambahan utang baru menjadi Rp44,5 triliun. Kenaikan itu disebabkan karena pemerintah perlu menambah stimulus fiskal sebesar Rp2 triliun sehingga menjadi Rp73,3 triliun.
Ia berpendapat, reformasi terbatas terhadap IMF dan Bank Dunia bukanlah jalan keluar, karena dua lembaga itu sejak lama beroperasi sesuai dengan selera negara-negara kaya yang menjadi pemilik saham mayoritas.
Terkait dengan konsep stimulus ekonomi sebagaimana yang direncanakan pemerintah Indonesia, ia berpendapat tidak berkontribusi langsung terhadap pekerja dan masyarakat miskin yang justru terkena dampak paling parah.
Stimulus hanya berkontribusi terhadap para pelaku usaha, itupun tidak akan dapat langsung diharapkan dapat mempertahankan kondisi keuangan perusahaan yang tergerus akibat pelemahan pasar global.
Karena itu ujarnya, langkah yang diambil pemerintah mengatasi krisis harus merupakan langkah koreksi total dari mekanisme pasar, karena krisis yang akut tidak akan dapat diatasi dengan cara-cara konservatif.
Selain berupaya mengatasi krisis sumber daya alam (energi, pangan, air dan perikanan), krisis lingkungan (pencemaran, perubahan iklim), dengan pengarusutamaan hak-hak rakyat terutama buruh, petani dan konsumen kecil, pemerintah juga diminta tidak membuat kebijakan yang merugikan rakyat dengan penciptaan utang baru yang dapat menjadi beban bagi pemerintahan berikutnya.
Untuk itu katanya, KAU mendesak pemerintah agar aktif mengusulkan agenda-agenda penyelamatan dan pemulihan ekonomi yang berorientasi pasar.
"Kebijakan liberalisasi pasar yang luas hanya akan menjadi beban bagi pemerintah berikutnya dalam memulihkan krisis ekonomi dan menjadi beban bagi perekonomian nasional dan ekonomi rakyat saat ini dan di masa datang," tegasnya.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009