Jakarta (ANTARA News) - Politisi terutama dari partai "kecil" tak perlu khawatir karena publik justru diuntungkan saat lembaga suvei mengumumkan hasil surveinya di hari tenang dan mempublikasikan penghitungan cepat (quick count) di hari pemilu adalah hal yang lazim di negara demokrasi. Ketua Umum AROPI (Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia) Denny JA didampingi Sekjen AROPI Umar Bakry mengatakan hal itu di Jakarta, Kamis usai bersilahturahmi dengan jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU).Menurut Denny, AROPI mengemukakan tiga alasan mengapa para politisi tak perlu khawatir dirugikan oleh publikasi survei di hari tenang dan penghitungancepat di hari pemlu.Pertama, publikasi survei di hari tenang (menjelang hari pencoblosan) dan hitung cepat di hari pemilu juga terjadi di negara demokrasi lain. Pemilu demokratis sudah terlebih dahulu di uji di negara barat. Di Amerika Serikat sebagai misalnya, bahkan di detik detik terakhir pemungutan suara, CNN atau NBC masih menyiarkan hasil survei paling muthakir. Hal yang sama terjadi soal hitung cepat. Di hari pemilu, 2 jam setelah TPS tutup, ABC atau CNN sudah mengumumkan proyeksi bahwa Obama terpilih sebagai presiden AS. Tradisi umumkan survei di hari tenang (menjelang hari pencoblosan) atau hitung cepat di hari pemilu sudah merupakan tradisi panjang di negara demokrasi. Ketika kita sudah memilih demokrasi, kita juga harus tahu bahwa demokrasi datang satu paket dengan kebebasan akademis. Dan kebebasan akademis datang satu paket dengan kebebasan masyarakat untuk membuat riset dan mempublikasi hasil risetnya. Denny menjelaskan, kebebasan akademis itu punya hukumnya sendiri untuk melakukan saling mengontrol. Hasil lembaga survei yang satu akan diperkuat atau dikoreksi oleh hasil lembaga survei lainnya. Publik justru diuntungkan mendapatkan informasi yang beragam. Kedua, aneka lembaga survei akan melakukan self control dan ekstra hati-hati menjaga kualitas hasil surveinya. Lembaga survei yang ceroboh atau nakal "memainkan data" segera diuji oleh hasil pemilu yang sebenarnya. "Memainkan data ini sama saja dengan tindakan bunuh diri karena publik dan media massa kan segera meninggalkan lembaga survei itu karena hasilnya yang sering meleset," katanya. Ketiga, publik lebih cerdas dari yang masyarakat menduga. Kekhawatiran bahwa hasil survei akan menggiring opini dan mempengaruhi opini untuk mendukung yang menang (bandwagon effect) tidak benar. Berbagai kajian akademik mengenai efek publikasi survei terhadap prilaku pemilih selalu tak pasti (inkonklusif). Selalu terjadi perdebatan apakah publik akan ikut memilih yang diprediksi menang (bandwagon effect), atau justru memilih yang diprediksi kalah (underdog effect) atau tak ada pengaruh sama sekali, demikian Denny JA.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009