London (ANTARA News) - Negara-negara berkembang memperjuangkan perdagangan yang lebih adil dalam pertemuan tingkat tinggi kelompok G-20.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu di Hotel JW Marriott, London, Rabu, mengatakan G-20 tetap mengandalkan mekanisme Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) untuk menghasilkan perdagangan dunia yang lebih adil.

Namun, para pemimpin negara G-20 akan menghasilkan pernyataan bersama untuk mendukung perdagangan yang adil dan menguntungkan bagi semua negara di dunia.

Menurut Mari, setidaknya ada empat hal yang termuat dalam komitmen politik para pemimpin negara kelompok G-20.

"Untuk `trade issue` (isu perdagangan), ada empat hal yang diminta ada komitmen politik dari `leaders level` (tingkat pimpinan)," ujarnya.

Hal pertama, menurut Mari, adalah bagaimana isu proteksionisme tidak seolah-olah menghukum negara berkembang secara tidak adil.

"Kalau mau dilihat, jangan hanya ini melanggar WTO atau tidak. Harus dilihat bahwa negara berkembang tidak punya dana, jadi kita tidak bisa menggunakan subsidi untuk mengamankan produksi dalam negeri. Mau tidak mau yang kita punya `trade instrument`," jelas Mari.

Hal lain yang menjadi komitmen politik pemimpin negara G-20, lanjut dia, adalah pembicaraan putaran Doha tetap berlanjut, adanya pembiayaan perdagangan serta bantuan khusus untuk meningkatkan kapasitas negara-negara berkembang agar bisa terus melanjutkan perdagangan.

"Itu termasuk meningkatkan pelabuhan, memperbaiki bea cukai, fasilitas perdagangan. `Aid for trade` itu ada targetnya, jadi berapa miliar (dolar) yang harus disumbang negara maju kepada negara berkembang," tutur Mendag.

Menurut Mari, setelah KTT G-20 di Washington pada November 2008, WTO telah mengeluarkan laporan berkala setiap tiga bulan tentang kebijakan perdagangan negara-negara anggotanya.

"Sekarang mereka memasukkan semua policy (kebijakan) yang dilakukan suatu negara, termasuk kebijakan fiskal yang bisa mempengaruhi, bukan hanya menghambat atau melindungi perdagangan dan investasi," jelasnya.

Menurut dia, laporan itu belum memuat evaluasi yang baik apakah suatu negara melakukan hal positif atau negatif dalam kebijakan perdagangan selama kondisi krisis.

"Sebenarnya kami memberikan banyak masukan pada bulan Januari di International Trade Minister Meeting (pertemuan menteri perdagangan Internasional) di Davos. Kami memberikan beberapa masukan karena kami tidak puas terhadap laporan yang mereka keluarkan di Bulan November," tuturnya.

WTO, lanjut Mendag, dalam kondisi krisis seperti ini seharusnya menyiapkan suatu mekanisme pengawasan untuk mengukur apakah negara-negara di dunia mengeluarkan kebijakan atau tindakan yang mengarah kepada proteksionisme.

Namun, WTO justru mengeluarkan laporan yang bias karena kebijakan negara yang belum menjadi peraturan dimasukkan sebagai penilaian mereka.

"Misalnya Indonesia, ada tujuh kebijakan kita yang satu dua belum jadi peraturan, tetapi sudah dimasukkan. Kita protes soal itu," ujarnya.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009