Jakarta (ANTARA) - Dalam beberapa hari terakhir istilah social distancing atau menjaga jarak sosial kerap menjadi pembicaraan baik di pemberitaan media atau dalam bentuk konten di media-media sosial sebagai bentuk salah satu langkah untuk melawan COVID-19.
Tapi sebenarnya apa itu social distancing? Menurut pakar kebijakan kesehatan Profesor Wiku Adisasmito, social distancing adalah menjaga jarak sosial sebagai bentuk usaha non farmasi untuk mengontrol penyebaran infeksi atau wabah, seperti yang terjadi saat ini di Indonesia, yakni wabah COVID-19.
Cara tersebut dianggap efektif karena penyebaran penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV-2 itu terjadi lewat droplet atau percikan air liur, bukan dari aerosol atau penyebaran di udara. Sebagai contoh, ketika orang batuk atau bersin di tempat umum tanpa menutup mulut dengan lengan maka cairan liurnya bisa jatuh ke berbagai permukaan yang kemudian dipegang oleh orang lain.
Atau jika sedang berbincang dengan orang lain dalam jarak dekat, air liur bisa terciprat ke wajah yang akan memperbesar kemungkinan penularan virus.
"Kalau kita berbicara soal lawan, kita sudah tahu musuh kita ini namanya virus tapi yang kita kurang pahami sebagai masyarakat adalah cara kerja musuh. Cara kerja musuh adalah dengan cara kontak, jadi kalau kita putus kontaknya dia tidak bisa menyebar," kata Wiku yang merupakan ketua tim pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19.
Social distancing dapat dilakukan dalam beberapa bentuk mulai dari tindakan sederhana seperti membatasi kontak tatap muka dan tangan, menghindari keramaian, tidak menggunakan transportasi umum, mengurangi perjalanan yang tidak perlu dan melakukan pekerjaan secara daring (online).
Semua itu jika dirangkum maka akan membuat masyarakat untuk tinggal di rumah untuk melakukan pekerjaan dan aktivitas mereka.
Dalam bentuk skala besar yang biasanya terimplementasi karena kebijakan pemerintah, terdapat cara social distancing seperti meliburkan sekolah, penutupan tempat kerja, usaha, layanan lain seperti restoran dan pusat perbelanjaan.
Aktivitas seperti bekerja, belajar dan beribadah tetap dilakukan bedanya hanyalah semua itu dilakukan di rumah untuk menghindari kontak langsung dengan orang asing yang tidak ketahui status kesehatannya.
Semua itu dilakukan agar masyarakat yang sehat tidak terinfeksi penyakit, karena selama interaksi kontak bisa terjaga dengan baik maka bisa membantu menekan penularan, kata Wiku.
Baca juga: Bandara Ngurah Rai mulai terapkan konsep "social distancing"
Baca juga: Erick Thohir instruksikan BUMN terapkan jaga jarak di fasilitas publik
Usaha pemerintah
Pemerintah paham betul soal pentingnya social distancing untuk mendorong penurunan tingkat penularan COVID-9 mengingat Indonesia sudah mencatatkan 200 lebih kasus positif sampai saat ini.
Dalam pidatonya di Istana Bogor pada Minggu (15/3), Presiden Joko Widodo mengimbau agar masyarakat mulai melakukan social distancing di tengah cepatnya tingkat penularan penyakit yang menyerang sistem pernapasan itu.
"Dengan kondisi ini saatnya kita bekerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah inilah saatnya bekerja bersama-sama saling tolong menolong dan bersatu padau, gotong royong. Kita ingin ini menjadi gerakan masyarakat agar masalah COVID-19 ini tertangani dengan maksimal," kata Presiden kala itu.
Beberapa pemerintah daerah kemudian mulai mengambil langkah cepat untuk merumuskan imbauan tersebut. Beberapa pemda seperti DKI Jakarta sudah mengambil keputusan untuk meniadakan kegiatan belajar dan mengajar di sekolah dan kampus-kampus dan membatalkan acara pertemuan besar.
DKI Jakarta bahkan sempat mengambil kebijakan mengejutkan untuk mengurangi jumlah transportasi umum seperti Transjakarta dan MRT untuk mendorong para pekerja melakukan aktivitas di rumah, meski akhirnya dibatalkan setelah mengakibatkan antrean panjang di berbagai titik halte.
Kegagalan kebijakan transportasi itu disebabkan karena masih banyak kantor dan pusat aktivitas yang buka seperti biasa dan belum menerapkan metode kerja di rumah. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sendiri mengklaim kebijakan pembatasan transportasi itu dilakukan untuk memberikan efek kejut kepada masyarakat dalam menghadapi COVID-19.
Tidak hanya pemerintah, lembaga-lembaga sosial dan agama juga turut menggaungkan social distancing untuk menghindari penularan penyakit itu.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengimbau agar masyarakat yang berada di zona merah yaitu daerah dengan banyak positif COVID-19 untuk membatasi aktivitas di tempat-tempat ibadah yang mengundang banyak kerumunan.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Dr. HM. Asrorun Niam Sholeh mengatakan semua pihak memiliki tanggung jawab yang sama untuk mencegah penyebaran COVID-19 lebih luas lagi. Ibadah harus tetap berjalan tapi sambil menjaga keselamatan diri sendiri dan yang lain.
Upaya pencegahan, kata dia, bukanlah tanggung jawab pemerintah saja tapi diperlukan kontribusi dan partisipasi publik secara keseluruhan. Tindakan itu dapat terlihat dengan peniadaan salat berjamaah di beberapa masjid.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Gomar Gultom yang mengajak agar umat menerapkan social distancing untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19.
Dia juga mengajak untuk mengembangkan bentuk-bentuk peribadahan di rumah. Ibadah di tengah keluarga tidak mengurangi nilai hakiki dari sebuah persekutuan ibadah, kata dia.
Baca juga: BUMN layanan publik terapkan social distancing antisipasi COVID-19
Baca juga: BUMN jadi pelopor, pakar: Kebijakan "social distancing" tepat
Cara sederhana
Sampai artikel ini diturunkan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) sudah mencatat 191.127 kasus positif terkonfirmasi COVID-19 di seluruh dunia dengan 7.807 kematian akibat penyakit yang disebabkan virus corona jenis baru itu per Rabu (18/3).
Di Indonesia sendiri juru bicara pemerintah terkait COVID-19 mengatakan sampai dengan Rabu (18/3) pukul 12.00 WIB sudah terdapat 227 kasus positif COVID-19 dengan 19 orang meninggal dan 11 orang sembuh.
Dengan angka tersebut berarti rasio kematian pasien COVID-19 di Indonesia adalah sebesar 8,4 persen.
Untuk itu, pemerintah lewat Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 meminta masyarakat untuk melakukan lima langkah sederhana untuk memotong angka penularan.
Yang pertama adalah orang harus menjaga jarak satu dengan lainnya untuk menghindari penularan lewat droplet. Kedua, jangan melakukan jabat tangan mengingat tangan sering memegang wajah yang memudahkan penularan.
Ketiga, masyarakat diminta untuk menghindari kerumunan orang karena tidak diketahui masing-masing status kesehatan dari orang yang berada di tempat umum. Keempat adalah bagi yang sakit untuk selalu menggunakan masker untuk menghindari penularan penyakit ke orang lain.
Kelima dan salah satu yang paling penting adalah menjaga kebersihan diri dan rajin mencuci tangan karena praktik tersebut dapat membantu membunuh kuman yang berada di tangan.
Jika masyarakat dapat melakukan social distancing dan mengikuti langkah-langkah yang sudah dianjurkan di atas maka akan dapat menekan laju penularan COVID-19 antar manusia.
Meski demikian, pemerintah mengakui ada beberapa orang yang tidak dapat melakukan social distancing secara total yaitu bekerja di rumah dan untuk itu mereka diharapkan menjaga jarak satu dengan lainnya ketika berada di kantor atau tempat umum.
Selain itu masih terdapat pula golongan masyarakat yang belum mematuhi secara utuh imbauan pemerintah terkait social distancing meski banyak daerah dengan kasus positif COVID-19 sudah memberlakukan libur bagi siswa.
"Memang ketegasan untuk melakukan social distancing atau menjaga jarak sosial itu perlu dilakukan pemerintah lewat pemerintah daerah, tidak bisa semuanya di pemerintah pusat," kata Wiku.*
Baca juga: PT PP dukung pelaksanaan jaga jarak sosial atasi COVID-19
Baca juga: MRT Jakarta terapkan jaga jarak sosial di stasiun dan kereta
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020