Jakarta (ANTARA) - Pandemi global virus corona (COVID-19) bisa saja menambah stres dan kecemasan di tengah masyarakat, seperti studi yang dikutip dari The Guardian.
Berbeda dengan orang-orang pada umumnya, mereka yang bergulat dengan kecemasan (anxiety) dan gangguan obsesif-kompulsif (OCD) merasakan beban yang bahkan lebih berat di masa-masa pandemi ini.
Banyak berita tentang virus corona yang menambah kekhawatiran mereka tentang kontaminasi, sakit atau ketidaknyamanan umum dengan tidak pastinya kelanjutan atau masa depan dari wabah ini.
Bentuk kecemasan dan ketakutan lain, misalnya, maraknya pembelian barang-barang seperti masker hingga hand sanitizer secara masif (panic buying).
Ditambah imbauan WHO untuk mencuci tangan, menghindari keramaian, mengambil suhu dua kali sehari - telah menjadi rekomendasi kesehatan masyarakat yang "mendesak".
Dikutip dari The Washington Post, imbauan tersebut dapat berdampak lain bagi mereka dengan gangguan kecemasan (anxietas) dan gangguan obsesif kompulsif (OCD).
Anxietas merupakan gangguan kecemasan dimana penderitanya terus merasakan cemas berlebihan yang dapat mengganggu kesehariannya.
Sementara OCD adalah gangguan yang menyebabkan penderitanya harus melakukan suatu hal secara berulang-ulang yang bila tak dilakukan akan menimbulkan ketakutan dan kecemasan tertentu.
Baca juga: Isu kesehatan mental muncul di Hong Kong akibat kekhawatiran corona
Baca juga: Layanan dukungan kesehatan mental warga China hadapi corona
Menurut Psikiater RSCM Jakarta dr Gina Anindyajati, rasa khawatir dapat dibentuk menjadi sebuah tindakan pencegahan, hanya saja, hal itu cukup sulit bagi mereka yang memiliki anxietas.
"Ada risiko mereka akan semakin terpuruk dalam pusaran pikiran dan perasaan cemasnya," kata Gina saat dihubungi melalui surel oleh ANTARA.
"Dan bagi orang dengan Gangguan Obsesif Kompulsif (OCD), anjuran rajin cuci tangan ditambah dengan kecemasan tertular COVID-19 akan berisiko relaps atau memperburuk keadaan," katanya melanjutkan.
Bagaimana menenangkan diri dan mengupayakan pikiran yang rasional agar tidak terjebak dalam pikiran yang irasional dan dorongan yang sulit dikendalikan adalah tantangan bagi mereka dengan kedua jenis gangguan kejiwaan ini.
Namun, sisi lain, Gina menambahkan, keadaan ini juga bisa dimanfaatkan sebagai suatu strategi terapi (teknik flooding) bagi mereka dengan anxietas dan OCD untuk beradaptasi secara cepat.
"Strategi terapi yang dikenal dengan nama teknik “flooding” - memaparkan orang yang memiliki gangguan anxietas dan/atau gangguan obsesif kompulsif dengan keadaan yang masif, sehingga ‘didesak’ untuk mampu beradaptasi secara cepat," jelas Gina.
Opsi karantina dan isolasi mandiri
Kebutuhan untuk karantina, isolasi, maupun lockdown sangat mungkin muncul dalam keadaan wabah guna memutus rantai penularan infeksi.
Karantina didefinisikan sebagai upaya membatasi kegiatan dan kontak sosial yang dilakukan oleh orang yang mungkin sudah terpapar kuman atau virus sebelumnya.
Sementara isolasi dilakukan oleh orang yang sudah memiliki gejala klinis penyakit akibat kuman atau virus tertentu.
Baca juga: Studi: Manusia merasa paling tidak bahagia saat berusia 47 tahun
Baca juga: Kurang konsumsi sayur sebabkan mudah cemas, benarkah?
Gina menyebut, terdapat beberapa studi yang pernah dilakukan untuk menilai dampak psikologis karantina diri melaporkan berbagai konsekuensi negatif, termasuk di antaranya adalah gejala post-traumatic stress disorder (PTSD) kebingungan, dan kemarahan.
"Hal ini dapat dipahami mengingat saat karantina akan ada perubahan rutinitas, dan mungkin sensasi kesepian sehingga membuat seseorang memiliki persepsi asing dari dunianya," jelas Gina.
Tekanan saat karantina dapat bertambah dengan lamanya durasi karantina dilakukan, ketakutan akan infeksi, rasa frustrasi, kebosanan, suplai sandang dan pangan yang tidak mencukupi, informasi yang salah dan tidak mencukupi, keterbatasan keuangan, serta stigma.
Menurut Gina, bila karantina benar-benar dibutuhkan, maka hendaknya dilakukan selama periode yang cukup.
"(Karantina sebaiknya) Tidak terlalu singkat karena membahayakan kesehatan masyarakat, dan tidak terlalu lama sehingga berisiko menimbulkan distres untuk orang yang dikarantina," ujarnya.
Kiat kurangi kecemasan
Banyak informasi yang mengatakan bahwa kecemasan dan kepanikan mampu menurunkan sistem imun individu, dan memungkinkan COVID-19 akan lebih cepat tertular.
Penting bagi mereka dengan gangguan anxietas dan OCD untuk memanajemen diri mereka agar tidak larut dalam kecemasan dan dapat menjaga imunitas, sebelum, ketika, dan setelah terinfeksi.
Baca juga: Melawan kecemasan sosial
Baca juga: Penyebab munculnya kecemasan sosial
Gina membagikan sejumlah kiat bagi mereka yang memiliki gangguan anxietas dan obsesif kompulsif agar lebih siap menghadapi pandemi COVID-19 maupun penyakit lainnya.
"Pertama, adalah mengenali emosi yang dirasakan, dan melakukan berbagai hal yang dapat menginterupsi atau menurunkan intensitas kecemasan yang dialami," kata psikiater RSCM itu.
Langkah lainnya ialah memilih dan memilah informasi hanya dari sumber yang kredibel dan akurat, serta membatasi diri dalam menerima serta menanggapi informasi.
Gina menambahkan, menjaga kesehatan fisik juga tak kalah penting untuk menjaga kesehatan mental.
"Caranya adalah dengan mengonsumsi makanan bergizi, cukup minum dan cukup tidur, serta melakukan aktivitas fisik, dan menjauhi rokok, alkohol dan narkoba," ujar Gina.
Kiat selanjutnya adalah menjalin komunikasi yang baik dengan orang terdekat, serta melatih diri untuk berpikir rasional, misalnya cuci tangan dilakukan di waktu tertentu dengan cara tertentu sesuai anjuran WHO, dan sebagainya.
"Bila anxietas dirasa makin memuncak atau gejala obsesif kompulsif semakin memberat, baiknya melakukan konsultasi dengan dokter yang merawat agar dapat dipikirkan bersama strategi dan latihan yang efektif untuk menenangkan diri," pungkasnya.
Baca juga: Tips hidup seimbang versi orang-orang terkaya di dunia
Baca juga: Omega-3 ternyata bisa mengurangi rasa cemas
Baca juga: Terapi bicara bantu atasi gangguan kecemasan sosial
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2020