Jakarta (ANTARA News) - Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) dr Theddeus Octavianus Hari Prasetyono SpBP selama empat bulan karena yang bersangkutan dinilai melakukan pelanggaran disiplin kedokteran yang berakibat fatal terhadap pasien.

Keputusan MKDKI mengenai pelanggaran disiplin kedokteran dalam tindakan operasi sedot lemak yang dilakukan Theddeus Octavianus Hari Prasetyono terhadap Dr dr Atie W Soekandar SpFK, dibacakan dalam sidang majelis yang diketuai dr Suyaka Suganda SpOG di kantor MKDKI Jakarta, Senin.

Dengan keputusan pencabutan STR tersebut, maka Theddeus Octavianus Hari Prasetyono tidak bisa menjalankan praktik kedokteran selama empat bulan, sejak keputusan dibacakan.

Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) dr Marius Widjajarta menyatakan, majelis menilai dokter spesialis itu melanggar disiplin kedokteran, karena tidak menjalankan mekanisme rujukan atas pasien yang menjalankan operasi sedot lemak yang kedua kali.

Menurut dia, operasi sedot lemak kedua kali resikonya tinggi, maka dokter yang melakukan itu seharusnya merujuk pasien ke kelompok ahli.

"Tapi dalam kasus ini dia melakukannya sendiri, tidak merujuk pada kelompok ahli dan akhirnya pasien meninggal dunia," kata dia.

Marius, yang bertindak sebagai pengadu, mengatakan, pihaknya cukup puas dengan keputusan MKDKI yang secara otomatis membuat teradu tidak bisa menjalankan praktik kedokteran selama empat bulan itu.

"Ini langkah awal yang cukup baik, cukup berat, karena kalau dia tidak hati-hati STR-nya bisa dicabut selamanya sehingga dia tidak bisa berpraktik lagi," katanya.

Marius menyatakan akan memantau pelaksanaan keputusan MKDKI tersebut dan melakukan tindakan hukum lanjutan jika mendapati sang dokter yang sedang mendapat sanksi itu melanggar putusan majelis.

Dia menyatakan tidak sependapat dengan salah satu anggota majelis mengenai tindakan teradu yang tidak memungut bayaran saat mengoperasi korban sebagai hal yang meringankan sanksinya.

"Seharusnya tidak boleh begitu, bagaimanapun dia dituntut menjalankan pekerjaannya secara profesional. Memang siapa yang mau kalau tidak bayar tapi nyawa melayang?" jelasnya.

Adik korban, Harry Suharto, menyatakan hanya bisa pasrah dengan keputusan MKDKI atas kasus pelanggaran disiplin kedokteran yang diadukan satu tahun lalu itu.

"Hukuman itu sebenarnya singkat sekali untuk ukuran tindakan yang menyangkut nyawa seseorang. Tapi mau bagaimana lagi, putusan di tingkat kedokteran seperti ini," katanya.

Pihak keluarga, menurut dia, belum berencana melakukan upaya hukum lanjutan dalam kasus itu. "Akan dibicarakan dulu dengan keluarga dan minta masukan dari profesi kedokteran, apakah akan diteruskan atau tidak," katanya.

Sedangkan teradu tidak banyak memberikan komentar. Dokter ahli bedah plastik itu menyatakan akan memikirkan hasil putusan MKDKI tersebut dan menegaskan bahwa tindakan yang dia lakukan hanya pelanggaran disiplin kedokteran dan bukan pelanggaran hukum.

"Ini persoalan disiplin kedokteran, bukan substansi hukum. Ini adalah kajian kedokteran dalam penerapan ilmu, nanti akan dibicarakan lagi dengan himpunan profesi," katanya seraya masuk ke dalam mobil.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009