(ANTARA News) - Tubuh kepala suku Indian musuh itu sangat besar. Ia duduk di atas kuda bagaikan dewa perang. Celana kulitnya yang panjang dan longgar dipenuhi kepangan rambut lawan-lawannya yang telah ia tembak mati.
Pelindung kaki dari kulit keras yang menutupi pelana hingga sanggurdi dihiasi corak bergaris-garis yang berasal dari kulit manusia. Di atas kepalanya terdapat tengkorak seekor puma.
Itulah sosok yang harus dihadapi Martin Baumann, yang berupaya membebaskan ayahnya dari tawanan dan ancaman hukuman mati suku Sioux Ogallallah di suatu kawasan berlumpur mengerikan di kawasan Yellowstone, Wyoming, AS.
Ia kemudian bertemu Winnetou, Old Shatterhand, dan tokoh lainnya yang bersama suku Shoshone, akhirnya bersatu berjuang mengalahkan suku Sioux tersebut dan membebaskan sang ayah, yang memiliki julukan si Pemburu Beruang.
Ringkasan kisah tersebut berasal dari buku berjudul "Anak Pemburu
Beruang" yang pada akhir Maret kembali diterbitkan bersama empat buku lainnya dari Seri Winnetou, Cerita untuk Remaja, yakni: "Hantu Llano Estacado", "Harta di Danau Perak", "Raja Minyak" dan "Mustang Hitam".
Di buku-buku itu, penulisnya, Karl May, yang lahir dan hidup di Jerman pada 1842-1912, bertutur tentang kehidupan liar padang rumput Amerika abad ke-18 (wild-west) dan berkisah tentang orang-orang pemberani yang saling menolong dalam pembebasan dan penumpasan kejahatan.
Mereka itu, Kepala Suku Indian Apache bernama Winnetou dan si kulit putih Old Shatterhand, dua sahabat yang cerdik, hebat dalam segala hal, bijak, berbudi luhur, dan termasyhur di seantero padang rumput.
Kecerdikan dan keluhuran kedua pahlawan itu di "Anak Pemburu Beruang", misalnya, dipaparkan ketika mereka berupaya membebaskan dua tawanan kulit putih dari suku Indian Shoshone.
Pahlawan itu membebaskan dua tawanan itu dengan menculik kepala suku dan anaknya, melalui sedikit dialog tak perlu ada pertumpahan darah di antara mereka.
Bahkan suku Shoshone justru ikut serta dalam pembebasan orang kulit putih lainnya (Baumann si Pemburu Beruang) dari tawanan suku Sioux di Gerbang Neraka.
Penambahan karakter-karakter lainnya seperti Jemmy Gendut, Davy
jangkung, Hobble Frank si pincang, seorang Indian muda Wohkadeh, hingga Bob si Negro dalam buku-buku itu juga menggambarkan jalinan persahabatan dan kerjasama antara orang-orang berbeda ras dan suku.
Permusuhan dan pertempuran di antara suku-suku Indian dan antara
Indian dan kulit putih dibeberkan secara berimbang dan apa adanya, seperti juga ketika dalam mengisahkan pertikaian antara kebaikan dan kejahatan, May tak memandang warna kulit.
Ia bahkan memberi benang merah dalam hubungan tersebut: "Dan jika kulit merah hidup damai satu sama lain, datanglah para master kulit putih mengusik mereka, awalnya dengan tusukan jarum lalu tikaman pisau hingga orang-orang Indian kembali menggali kapak peperangan yang sudah dikubur dan mengawali perang baru."
Gurun tandus
Sedangkan buku berikutnya, "Hantu Llano Estacado" bertutur tentang gurun tandus di perbatasan Texas dan New Mexico yang dijadikan lokasi kejahatan.
Sejumlah penjahat memindahkan tiang-tiang penunjuk arah di gurun tandus itu untuk menyesatkan para musafir dan menjadikan mereka sasaran empuk perampokan.
Sampai suatu waktu muncullah Hantu Llano, berbentuk makhluk bertopeng bison putih (yang dianggap sakral oleh Indian) berkuda dan bisa melesat ke angkasa. Di Llano Estacado itu pulalah ada legenda tentang suatu mata-air di tengah gurun, penyelamat banyak nyawa orang tersesat dan kehausan.
Winnetou-Old Shatterhand menguak rahasia bison putih itu, berikut sesuatu yang sebenarnya terjadi di oase di gurun Llano Estacado.
Sedangkan buku ketiga "Harta di Danau Perak" mengisahkan seorang Indian tua yang karena berterima kasih telah dirawat oleh dua orang kulit putih, telah bertindak ceroboh, menyerahkan peta harta kepada para penolongnya sesaat sebelum meninggal dunia.
Sementara itu Old Firehand, seorang petualang di Wild West, rekan Winnetou-Old Shatterhand, menemukan tambang perak yang kemudian menarik berbagai dengan berbagai macam kepentingan: mencari harta karun, menambang perak, dan yang mencoba merampok.
Harta karun, jebakan rahasia, akal bulus tipu-menipu, menjadikan cerita ini bagaikan kisah Indiana Jones.
Sementara itu buku "Raja Minyak" berkisah tentang ditemukannya minyak di Wild West dan membuat para imigran Eropa datang berduyun-duyun ke dunia baru, di Barat, guna mengadu nasib dan tak pelak mereka pun dihadang berbagai macam mara bahaya.
Pada saat yang sama, pertentangan antar suku Indian masih saja terjadi.
Hal-hal itulah yang harus dihadapi Winnetou-Old Shatterhand: mencegah kejahatan dalam perebutan minyak, menyelamatkan imigran, dan sekaligus menghindarkan pertumpahan darah. Plot berbelit seperti itu menjadi menarik karena dongeng itu ditulis pada abad-19.
Sedangkan di "Mustang Hitam", May bercerita tentang kehidupan para pembuat jalan kereta api yang melintasi benua Amerika, dan kemudian membentuk dunia baru. Para kuli tersebut adalah orang-orang Tionghoa yang harus didatangkan dari Tiongkok.
Di sana, Winnetou-Old Shatterhand terlibat dalam petualangan yang menyedihkan, karena senjata-senjata mereka yang berharga itu dicuri oleh para kuli tadi. Mustang Hitam rupanya memanfaatkan kejadian itu.
Kisah petualangan
May mulai menulis tentang seorang tokoh Indian pecinta damai bernama Winnetou pada 1875 dan belakangan ditemani rekan kulit putihnya Old Shatterhand pada 1879, setelah beberapa tahun menulis karya lainnya yang termasuk dalam genre kisah petualangan.
Namun, baru pada 1890 sebuah penerbit di Stuttgart (UDV) menerbitkan tujuh cerita yang diperuntukkan bagi anak remaja dalam bentuk buku yang di Indonesia dikenal dengan "Rahasia Bison Putih" yang aslinya berjudul "Anak Pemburu Beruang", "Raja Minyak", dan "Harta dari Danau Perak".
Menurut Ketua Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) Pandu Ganesa yang menerbitkan kelima buku itu bersama Pustaka Primatama, buku-buku yang sama pernah terbit di Indonesia pada tahun 1960-an dari naskah Belanda.
"Buku-buku yang terbit sekarang diterjemahkan langsung dari naskah aslinya yang berbahasa Jerman," katanya.
May meraih sukses besar pada 1892 dengan diterbitkannya buku-bukunya Siklus Timur atau dikenal dengan Kara Ben Nemsi disusul karya akbarnya Winnetou dalam tiga jilid.
Karl May yang hingga akhir hayatnya memiliki karya sedikitnya 80 judul buku dan terjual hingga lebih dari 125 juta eksemplar, belum termasuk edisi bahasa asing yang tak kurang diterjemahkan dalam 39 bahasa dunia itu, memang memiliki daya imajinasi sangat tinggi.
Ketika menyusun novel-novelnya yang berkisah tentang petualangan di benua baru, Amerika, itu, ia belum pernah ke negeri tersebut dan hanya berbekal berbagai referensi buku perjalanan, kamus, ensiklopedia, peta, buku geografi, etnografi, serta jurnal-jurnal mutakhir.
"Setelah menuai sukses, tentu ia berpikir perlunya berkunjung ke negeri Apache, lokasi di mana kisah-kisahnya ditulis, namun apa daya karena tanah "Wild West" impian itu masih dianggap tak aman sampai abad ke-19, ia akhirnya hanya ke pantai timur Amerika melongok air terjun Niagara," kata Pandu.
Untuk mengganti kekecewaannya, ia juga berpelesir ke negeri-negeri
timur yang sebelumnya hanya dikunjunginya dalam khayalannya, termasuk ke Hindia Belanda yang dia panggil Kepulauan Sunda. Perjalanan antara
1899-1900 itu termasuk ke Aceh dan Padang.
Karl May, meskipun sering dianggap narsis karena menjuluki dirinya sebagai Old Shatterhand, seperti ungkapannya yang terkenal: Old Shatterhand das bin Ich (Sayalah sebenarnya Old Shatterhand itu), pesan-pesannya tentang perdamaian dan kemanusiaan merasuki jiwa banyak orang di dunia.(*)
Oleh Oleh Dewanti Lestari
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009