Semarang (ANTARA News) - Menteri Kesehatan (Menkes) diharapkan lebih peduli terhadap kesejahteraan masyarakat di bidang kesehatan, menyusul tewasnya lagi satu orang pasien Ponari, si dukun cilik dari Jombang, pada Minggu (29/3).
Koordinator Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jawa Tengah (Jateng), Prof Agnes Widanti S di Semarang, Senin mengatakan, dengan bertambahnya lagi satu orang yang tewas, Menkes harus segera memikirkan langkah ke depan agar kejadian serupa tidak terulang.
"Cukuplah kejadian tersebut menjadi yang terakhir dan dijadikan sebagai pelajaran agar tidak terulang lagi," tegas Ketua Program Studi Magister Hukum Unika Soegijapranata Semarang tersebut.
Namun, ia mengingatkan, selama kondisi kesehatan masyarakat masih terpuruk, kejadian serupa besar kemungkinan dapat terulang lagi. "Bahkan, praktek pengobatan serupa akan bermunculan dan kembali memakan korban," katanya.
Ia mengatakan, pemerintah khususnya Menkes hendaknya lebih tanggap dengan permasalahan tersebut dan mengupayakan perbaikan terhadap kondisi kesehatan masyarakat.
Melihat kasus Ponari, lanjut Agnes, mengartikan bahwa masyarakat ternyata lebih memilih seorang anak kecil untuk mengobati sakitnya, daripada ditangani oleh dokter.
"Hal tersebut terjadi, karena datang ke Ponari jauh lebih murah dibandingkan biaya berobat ke dokter, rumah sakit, atau membeli obat-obatan yang harganya relatif mahal," katanya.
Meskipun, kata Agnes, telah ada beberapa upaya pemerintah untuk menyejahterakan kesehatan masyarakat, antara lain, obat generik dan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas).
Akan tetapi, ternyata upaya tersebut masih belum cukup efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bidang kesehatan, kata Agnes.
"Misalnya, apakah Jamkesmas sudah memenuhi kebutuhan rakyat miskin dan tepat sasaran," ujarnya.
Jangan sampai, kata Agnes, Jamkesmas yang menjadi program bagi rakyat miskin, ternyata salah sasaran dan justru digunakan oleh masyarakat yang tergolong mampu.
Sementara, mengenai praktik Ponari yang kembali dibuka, ia memang menyesalkan. "Namun, pengobatan berhubungan dengan kemanusiaan, kalau dihentikan secara total juga tidak bijaksana," katanya.
Oleh karena itu, ia mengingatkan, praktik pengobatan Ponari harus terus dipantau dan diawasi, jangan sampai praktik pengobatan tersebut nantinya malah menghambat proses tumbuh kembang Ponari sebagai anak.
"Apalagi, kalau sampai hak anak untuk memperoleh pendidikan tidak terpenuhi," katanya.
Seperti diwartakan sebelumnya, sejak praktik dukun Ponari dibuka dua bulan lalu, tercatat sudah lima orang tewas. Sebelumnya, empat orang tewas karena berdesak-desakan dan akibat penyakitnya kambuh.
Meskipun beberapa kali ditutup oleh aparat kepolisian, tetapi pihak keluarga Ponari tetap membuka tempat praktik tersebut.
Setiap hari, Ponari diberi kesempatan mengobati sekitar lima ribu pasien yang dimulai setelah pulang sekolah, sekitar pukul 14:00 WIB.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009
Mari bangun malam kemudian sujud, istifar, bertasbih pasti ada yang salah. Atau jangan2 semua itu gaya cari makan murahan lwt ponari. MUI mana fatwamu.
Sebaiknya ikuti nasehan menkes, urus Jamkesmas bantulah mereka2 ini dalam urusannya jangan dipersulit. Mosok urus jamkesmas bisa satu-dua tahun?. Inilah masalah utamanya