Jakarta (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mempertimbangkan menggugat pemerintah karena lalai dalam pemeliharaan Situ Gintung yang mengakibatkan bencana jebolnya tanggul penampungan air tersebut.
"Walhi mempertimbangkan mengajukan gugatan hukum Legal Standing atau memfasilitasi warga korban melakukan gugatan `Class Action` kepada pemerintah Provinsi Banten dan Departemen Teknis terkait," kata Juru Kampanye Air dan Pangan Walhi Eksekutif Nasional, Erwin Usman melalui pesan singkat, Minggu.
Erwin mengatakan recana gugatan kepada pemerintah tersebut karena melihat bencana Situ Gintung murni merupakan kelalaian pemerintah menerapkan UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No7/2004 tentang Sumber Dyaa Air c.q PP No.42/2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air dan UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Sebelumnya, Erwin mengatakan Walhi menuntut kepada pemerintah agar membuat sistem peringatan dini (Early Warning System) kepada masyarakat di sekitar situ di wilayah Jabodetabek (Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi).
"Early Warning System segera dibenahi. Maksimal 24 jam besok sudah ada peringatan kepada masyarakat di daerah rawan," kata Erwin di Jakarta, Sabtu, mengenai solusi pasca tragedi Situ Gintung, Ciputat, Tangerang.
Pemerintah juga harus merevitalisasi sekitar 200 situ yang ada di Jabodetabek untuk menampung air hujan dari daerah yang lebih atas.
"Revitalisasi ini membutuhkan koordinasi yang cepat antara Bappenas, Departemen Keuangan selaku pemegang dana pemerintah, Departemen Pekerjaan Umum dan kepala daerah di wilayah Jabodetabek terutama situ dan bendungan yang daerah bawahnya terdapat permukiman penduduk harus segera diperbaiki oleh pemerintah," kata Erwin.
Solusi lainnya yaitu penghentian atau moratorium segala alih fungsi lahan di kawasan situ, DAS (daerah aliran sungai) dan daerah tangkapan air karena tiga daerah tersebut saling mempengaruhi.
Erwin melihat pemerintah tidak serius untuk merawat Situ Gintung terbukti dari laporan masyarakat sekitar penampungan air tersebut yang tidak ditanggapi oleh pemerintah.
"Soal perawatan Situ Gintung, pemerintah dan DPU (Departemen Pekerjaan Umum) dan pemprov Banten tak cukup cermat. Situ yang dibangun 1930 tak pernah diperbaiki cuma dilakukan semacam pengerukan di tahun 2008," katanya.
Oleh karena itu, dia melanjutkan, wajar apabila kapasitas Situ Gintung yang hanya 1,5 juta meter kubik air berpotensi jebol sangat tinggi ketika air menjadi berlebih sampai 2 juta meter kubik pada saat kejadian.
Masyarakat juga telah melaporkan luapan air yang terjadi di Situ Gintung sebelumnya yaitu dari kedalaman 2-3 meter air dan luapannya yang mencapai 5-6 meter.
Situ Gintung juga mengalami pendangkalan dan penyempitan yaitu dari luas awal 31 hektare saat ini hanya tinggal 21 hektare karena alih fungsi lahan.
"Alih fungsi disitu dengan dibangun semacam vila, restoran, kawasan ekowisata dan kawasan komersial lain yang dibangun tidak memperhatikan fungsi ekologis dan keselamatan manusia," katanya.
Alih fungsi lahan ini menunjukkan koordinasi antara Pemda Tangerang, Pemprov Banten dan Pemprov Jabar serta Jakarta buruk karena wilayah lintasan air di atas Situ Gintung meliputi DAS Ciliwung dan DAS Cisadane.
"Kondisi di hulu dikoordinasikan dengan Pemda Jabar dan Jakarta karena pemulihan daerah DAS dan tangkapan air berpengaruh terhadap hilir dan volume air yang turun," katanya.
Erwin menambahkan tragedi jebolnya Situ Gintung juga menunjukkan pemerintah tidak mempunyai sistem peringatan dini padahal masyarakat telah memberikan informasi terkait penampungan air tersebut yang airnya meluap.
"Hampir semua korban selamat mengatakan bahwa November 2008 sudah pernah terjadi air meluap tapi tidak besar seperti sekarang, dimana air meluap menggenangi rumah penduduk tapi pada skala kecil dan tidak ada korban," tambahnya.
Peristiwa jebolnya Tanggul Situ Gintung pada Jumat (27/3) dinihari sekitar pukul 04.00 WIB mengakibatkan daerah permukiman padat di sebelah utara Danau Gintung menjadi terendam, lebih 90 orang tewas, dan ratusan lainnya belum diketemukan.
Menurut pengakuan warga yang selamat, pada sekitar pukul 04.00 WIB mereka mendengar suara gemuruh dan seakan-akan terjadi gempa bumi.
Ternyata, hal itu disebabkan oleh derasnya aliran air yang menghunjam pemukiman warga akibat jebolnya tanggul tersebut.
(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009
Indonesia negara padat penduduk sehingga tempat tinggal/hunian harus juga di garap sabaik mungkin. Makanya,,,sudah ada Komisi yang di bentuk, coba di bentuk Komisi Linskungan Hidup,,,punya wewenang tangkap dan penjarakan siapapun yg lalai menegakan UU Lingkungan. Salam