kelas menengah beralih berminat ke KPR subsidi sehingga membuka ruang penyalahgunaan subsidi dan mengakibatkan anggaran subsidi tidak tepat sasaran
Jakarta (ANTARA) - Memiliki rumah serba terjangkau tentunya menjadi impian semua warga Indonesia. Arti terjangkau di sini tidak hanya dari segi harga tetapi lokasinya juga harus mudah dijangkau baik menggunakan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum.
Namun untuk mewujudkan rumah "terjangkau" ini bukanlah perkara mudah berbagai regulasi harus kerap digulirkan agar pengembang selalu tertarik untuk membangun rumah tipe ini.
Salah satu yang regulasi yang ditunggu baik pengembang maupun pembeli rumah "terjangkau" adalah ketersediaan anggaran subsidi antara lain berupa Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan(FLPP).
Bagi pembeli rumah, FLPP ini tentunya akan meringankan selama harus mengangsur kredit pemilikan rumah/apartemen, namun bagi pengembang fasilitas ini akan membuat rumah/ apartemen yang dibangunnya lekas terjual yang berarti arus kas (cash flow) tetap terjaga.
Pengalaman pada 2019 saat dana FLPP sebesar Rp7,1 triliun habis sebelum tahun anggaran berakhir, membuat pembeli tidak bisa langsung menempati rumah yang dibelinya. Pembeli baru bisa menempati rumah setelah tambahan Rp2 triliun digulirkan, setelah sebelumnya ditalangi perbankan.
Belajar dari 2019 itu, maka untuk 2020 pemerintah langsung menggelontorkan anggaran FLPP sebesar Rp11 triliun untuk memenuhi permintaan 102.500 unit rumah. Namun angka ini dirasakan masih kurang mengingat kapasitas produksi rumah subsidi 2020 sebanyak 260.000 unit rumah.
Untuk mewujudkan program sejuta rumah 2020 memang tidak semuanya berasal kontribusi rumah subsidi, namun juga rumah bukan subsidi.
Permasalahannya adalah agar rumah itu tetap "terjangkau" keterlibatan pemerintah masih dibutuhkan terutama berkaitan regulasi.
Baca juga: Memimpikan hunian di bawah Rp300 juta di Bodetabek
Dorongan
Ketua Umum Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI), Totok Lusida mengatakan untuk membangun rumah terjangkau harus ada dorongan dari pemerintah baik dalam bentuk subsidi maupun regulasi.
Totok mengatakan hampir 80 persen anggota REI merupakan pengembang kecil yang berkontribusi dalam pembangunan hunian terjangkau. Kelangsungan bisnis mereka ini sangat bergantung terhadap kebijakan pemerintah di bidang perumahan baik itu terkait subsidi maupun perpajakan.
Totok mengatakan untuk tahun ini anggota REI menargetkan bakal membangun 259.808 unit rumah bersubsidi untuk mendukung program sejuta rumah, belum termasuk dari asosiasi lainnya seperti Apersi, Himpera, Apernas Jaya dan lain sebagainya.
Totok mengakui iklim di sektor perumahan ini kondisinya juga ikut terpengaruh dampak COVID-19 sehingga untuk mewujudkan target itu memang butuhkan dorongan (stimulus) salah satu yang sangat dimungkinkan insentif di sektor perpajakan.
Insentif pajak berupa pajak penghasilan (PPh) satu persen dan pengurangan pajak pertambahan nilai (PPN) sampai nol persen sangat penting untuk menekan harga rumah agar semakin terjangkau bagi masyarakat khususnya mereka yang telah berjasa kepada negara.
Totok mengingatkan masih banyak prajurit TNI/Polri yang belum memiliki rumah padahal mereka berjasa dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Totok juga menyampaikan apresiasi pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan harga baru untuk rumah subsidi. Namun dalam pelaksanaan di lapangan masih harus didiskusikan lebih jauh sebagai contoh soal spesifikasi bangunan yang menjadi persyaratan.
Hal senada juga dikemukakan Ketua umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (DPP APERSI) Junaidi Abdillah.
Dia mengatakan dukungan pemerintah terhadap rumah subsidi sudah maksimal tinggal penerapan di bawahnya.
Baca juga: Ahli : Kemayoran lokasi tepat dikembangkan kawasan hunian dan bisnis
Junaidi berharap pada 2020 berbagai kebijakan pemerintah di sektor perumahan sudah dapat dirasakan masyarakat. Munculnya wabah COVID-19 seharusnya menjadi momentum untuk segera melakukan penataan agar kebijakan perumahan ke depan lebih mulus.
Sedangkan Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan Nasional (Apernas) Jaya, Andre Bangsawan mengatakan perlunya pembenahan sistem subsidi seperti yang dipakai sekarang agar mencapai hasil ideal dan mampu mengakomodir semua pihak.
Andre menyoroti kebijakan menaikkan harga rumah subsidi secara simultan setiap tahun dapat berdampak pada kenaikan dana APBN yang harus disediakan. Serta berpotensi terjadi salah sasaran subsidi untuk masyarakat berpendapatan rendah (MBR).
Akibat dari kenaikan harga yang terus-menerus akan berdampak turunnya daya angsur masyarakat. Selain itu, dengan kenaikan harga yang terus menerus akan memancing pengembang untuk selalu menaikkan spesifikasi unit rumah KPR subsidi.
Pada 2019, kuota KPR subsidi habis di pertengahan tahun. Hal itu memberikan dampak yang luas di masyarakat. Pengembang mengerem produksinya. Secara ekonomi itu berdampak buruk bagi MBR, perbankan, dan pengembang serta bisnis turunannya.
Pisahkan harga
Andre Bangsawan memberikan beberapa solusi agar kejadian di tahun 2019 tidak terulang sekaligus sebagai perbaikan regulasi di tahun-tahun berikutnya.
Salah satu usulan itu adalah menerapkan kebijakan dua harga dan dua suku bunga untuk KPR subsidi. Harga terendah Rp130 juta dengan bunga lima persen ditujukan bagi masyarakat dengan penghasilan di bawah Rp4 juta. Harga ideal Rp153 juta dengan bunga delapan persen bagi masyarakat berpenghasilan Rp4-7 juta.
Hal itu karena terbukti kenaikan harga rumah yang disesuaikan setiap tahun selama ini tanpa diimbangi batas maksimal, akhirnya masyarakat dengan penghasilan di bawah Rp4 juta semakin tidak mampu menjangkau fasilitas KPR subsidi.
Ia memberi contoh, kenaikan harga secara terus-menerus dengan selisih angsuran dari tahun 2017 ke tahun 2019 sebesar Rp187.817 ini akan semakin menjauhkan masyarakat berpendapatan rendah (MBR) dengan fasilitas subsidi.
"Sementara, kelas menengah menjadi beralih berminat ke KPR subsidi sehingga membuka ruang penyalahgunaan subsidi dan mengakibatkan anggaran subsidi tidak tepat sasaran," katanya.
Apabila batasan harga maksimal di Rp128 juta dengan penghasilan kurang Rp4 juta, bunga lima persen, jangka waktu 15 tahun maka angsuran per bulan Rp961.605 dan jika harga Rp153 juta dengan bunga delapan persen dan penghasilan Rp4-7 juta, maka ansuran per bulan selama 15 tahun sebesar Rp1,38 juta.
Artinya, ada selisih sekitar Rp427.395. Hal ini akan memisahkan dengan jelas MBR dengan penghasilan di bawah Rp4 juta dengan MBR yang berpenghasilan Rp4 juta-Rp7 juta.
Dengan adanya perbedaan harga dapat dipastikan ada perbedaan spesifikasi dari dua unit rumah tersebut sehingga tidak menarik MBR berpenghasilan Rp4 juta-Rp7 juta untuk mengambil unit KPR subsidi harga terendah yang diperuntukkan MBR di bawah Rp4 juta.
Namun, jika hanya diambil satu harga dan dua suku bunga, ini akan membuka peluang untuk praktik-praktik manipulasi data di perbankan agar MBR berpenghasilan Rp4 juta-Rp7 juta mendapat fasilitas bunga untuk KPR subsidi MBR berpenghasilan di bawah Rp4 Juta, karena menawarkan fasilitas unit dan harga yang sama tapi skema bunga yang berbeda.
Baca juga: Pengembang bilang beli hunian apartemen tidak perlu mahal
Oleh karena itu, dibutuhkan regulasi kebijakan dua harga dan dua suku bunga berdasarkan penghasilan masyarakat.
Andre berharap usulan ini dapat mengikat semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses KPR subsidi di antaranya masyarakat, perbankan dan pengembang.
Jika usulan ini diterima, maka tambah Andre, kejadian pada 2019 tentang kehabisan kuota, tidak terulang, serta tepat sasaran subsidi.
Usulan lain adalah hentikan kebijakan menaikkan harga jual rumah subsidi tiap tahun sebab akan semakin menjauhkan MBR dari rumah subsidi.
Apabila harga rumah naik terus dan mencapai titik tertentu misalnya Rp200 juta. Hal ini justru akan memancing kalangan menengah untuk memiliki rumah KPR subsidi karena kenaikan kualitas atau spek signifikan.
Untuk MBR sendiri akan sulit untuk menjangkau angsuran rumah di harga tersebut karena tidak diikuti dengan kenaikan pendapatan di MBR.
Maksimalkan
Wakil Ketua Komite IV DPD RI, Sukiryanto menyatakan kesiapannya untuk mendukung setiap masukan dari masyarakat termasuk dari kalangan asosiasi dalam upaya memaksimalkan kebijakan subsidi rumah agar lebih baik lagi ke depan.
Menurut Sukiryanto DPD RI memiliki peranan untuk mengusulkan kebijakan dan melakukan pengawasan. Sedangkan untuk pembahasan serta ketok palunya merupakan ranah DPR-RI.
Sukiryanto mengatakan kebijakan FLPP telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman untuk kemudian pelaksanaannya diatur melalui peraturan pemerintah.
Menurutnya terdapat dua kebijakan terhadap penyediaan rumah terjangkau bagi masyarakat berpendapatan rendah yang dapat disentuh APBN. Apabila masyarakat itu sudah memiliki rumah dan tanah tetapi tidak layak huni bisa mendapatkan dana bedah rumah.
Namun kalau belum memiliki rumah bisa memanfaatkan fasilitas subsidi, salah satunya FLPP.
Sukiryanto mengatakan belanja APBN 2020 mencapai Rp2.140 triliun, dari jumlah tersebut sebanyak Rp140 triliun masih dicari sumber pendanaanya, sedangkan Rp2.000 triliun sudah aman dari pajak.
Hal itu termasuk yang sudah diamankan anggaran FLPP sebesar Rp11 triliun, hanya saja sebesar Rp2 triliun sudah diambil untuk bank yang sudah menalangi kekurangan FLPP 2019.
Dengan demikian jelas Sukiryanto FLPP yang tersedia pada 2020 tinggal sebesar Rp9 triliun dan diperkirakan belum sampai pertengahan tahun dana ini sudah habis.
Karenanya, perlu masukan bersama untuk memanfaatkan dana ini agar masyarakat tetap dimudahkan untuk membeli rumah.
Sukiryanto menyetujui untuk memberikan insentif pajak bagi pengembang yang telah membangun hunian terjangkau. Salah satunya dengan meninjau pengusaha tidak kena pajak dengan penghasilan di bawah Rp4,8 miliar agar ditingkatkan menjadi Rp10 miliar.
Sukiryanto mengatakan saat ini juga ada fasilitas subsidi selisih bunga yang sebenarnya juga bisa ditindaklanjuti sebagai solusi untuk mempercepat pembangunan hunian terjangkau.
Baca juga: Kadin usulkan empat solusi tambah kuota rumah subsidi 2020
Sukiryanto juga menyampaikan masih ada cadangan anggaran untuk perumahan agar asosiasi pengembang dapat mencari solusi kebijakan agar persoalan ketersediaan dana subsidi ini dapat terpecahkan ke depannya.
Pembangunan rumah tidak saja berkaitan dengan masyarakat berpendapatan rendah yang perlu mendapat bantuan dana subsidi. Namun juga terkait keberlangsungan pembangunan perumahan sehingga pada akhirnya dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Apabila pembangunan rumah berjalan maka sektor-sektor pendukung seperti produsen genteng, besi, batu bata, semen, pasir, dan sebagainya ikut bergerak, belum termasuk sektor tenaga kerja, warung makan, dan sebagainya juga ikut memberikan kontribusi.
REI pernah menyampaikan data setiap pertumbuhan pembangunan rumah sebesar satu persen akan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi 9,5 persen untuk jangka waktu lima tahun ke depan atau rata-rata 1,9 persen per tahun.
Ini yang memuat sektor ini agaknya perlu mendapat perhatian serius pemerintah ke depannya.
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2020