Jakarta (ANTARA News) - Kebijakan cukai tembakau dinilai hanya merupakan pendapatan semu bagi negara karena dampak produk turunannya yaitu rokok justru lebih besar daripada penerimaan tersebut. "Sebuah studi menyebutkan bahwa total biaya konsumsi tembakau sebesar Rp127,4 triliun pada 2001 termasuk untuk berbelanja tembakau dan mengatasi gangguan akibat rokok," kata Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Prof. Dr. dr. Farid A. Moeloek, di Jakarta, Selasa. Angka itu, menurut dia, 7,5 kali lipat lebih besar dari penerimaan negara yang berasal dari cukai tembakau pada tahun yang sama yang nilainya sebesar Rp16,5 triliun. Ia mengatakan, sesungguhnya justru negara kehilangan sekitar Rp325 triliun dana yang terpaksa dialokasikan untuk mengatasi gangguan kesehatan akibat rokok. "Dana sebesar itu sebenarnya dapat diinvestasikan untuk gizi anak dalam keluarga," katanya. Sampai sejauh ini income keluarga di Indonesia rata-rata sekitar 12 persen atau rata-rata pendapatan selama 17 hari kerja dibelanjakan untuk rokok. Mantan Menkes RI itu menyatakan prihatin sebab hingga kini edukasi tentang bahaya merokok belum tersosialisasikan dengan baik. Padahal pemerintah telah menggembar-gemborkan untuk menyukseskan program PBB The Millinium Development Goals yang di dalamnya tercakup tentang kontrol tembakau ("Tobacco Control"). "Komitmen kita dengan MDGs jadi cedera gara-gara kita tidak `consern` pada bahaya rokok," katanya. Ia juga menyebutkan bahaya rokok dapat menyebabkan hilangkan sebuah generasi secara sistematik. Rokok dinilainya sebagai "road map" menuju hilangnya sebuah generasi dan kehancuran ekonomi keluarga. Apalagi ada studi lebih lanjut yang menyebutkan bahwa pada akhir abad 21 setidaknya 1 miliar orang akan meninggal karena rokok. Oleh karena itu, ia menekankan agar pemerintah lebih "concern" untuk mempopulerkan, mempromosikan, menyosialisasikan, dan membudayakan hidup sehat terutama menghindari rokok agar program Healthy Indonesia sukses.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009