Dogmatisme menyeret orang untuk memeluk bayangannya sendiri. Ada istilah yang relatif memadai bagi pelukisan dogmatisme yakni bertinju dengan bayangan sendiri di sebuah cermin.
Mereka yang kepincut dengan dogmatisme serta merta menjauhi pertanyaan "apa yang istimewa" dan menjawab "ya" sebelum pertanyaan diajukan. Perbedaan itu aneh, kata dogmatisme.
Silakan perhatikan dunia mode yang punya kearifan untuk mengganyang, merombak dan membongkar dogmatisme. Perhatikan model celana "hipster", dengan pinggang celana sangat rendah, memberi kesan hampir melorot.
Hanya dengan mengusung rumus lucu itu aneh, jagat dagelan Srimulat menghibur publik karena menyadarkan bahwa Tuhan menciptakan dunia ketika Dia tersenyum.
Lantas, dogmatisme apa yang kini merangsek soal daftar pemilih tetap (DPT)? Kosa kata yang ditulis sejumlah media massa yakni kisruh DPT, DPT amburadul, DPT fiktif, dan "pemilih hantu".
Sontak, Ketua Komisi Pemilihan Umum Abdul Hafiz Anshary menegaskan, ""DPT (pemilu legislatif) kita valid dan akurat".
Padahal, ketidakberesan DPT terkuak lantaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak menggunakan teknologi informasi sistem pendaftaran pemilih. KPU memilih pengolahan data dengan menggunakan (program aplikasi) Microsoft Office Excel, kata Ketua Tim Ahli Teknologi Informasi KPU Bambang Edhi Laksono kepada harian Media Indonesia.
Mengapa diskursus seputar DPT meluncur ke lorong kisruh, bukan menyentuh relung cahaya? Jawabnya, belajarlah dari sejarah agar luput dari jerat dogmatisme.
Bukankah filsuf Derrida menyatakan akhir dari sejarah merujuk kepada "diperolehnya" arti dari apa yang telah terjadi. Ini merujuk kepada dogmatisme yang menafikan masa lalu. Jangan lupakan sejarah (jasmerah), kata proklamator Ir. Soekarno.
Dogmatisme menjalani defisit makna ketika menghadapi gelora dekonstruksi. Kalau kejernihan mencecap pengertian, maka kegelapan yang menyelimuti langit pengertian akan membuat pikiran manusia kedodoran. Buktinya ada kasus kisruh DPT.
DPT fiktif kali pertama diutarakan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Partai itu menelaah temuan Panitia Pengawas Pemilu di Kabupaten Magetan, Trenggalek, dan Ngawi. Dari 3,6 juta pemilih di tiga kabupaten itu, ditemukan 25 persen nama fiktif.
Dugaan DPT fiktif juga terjadi di Jakarta. Ketua Panitia Pengawas Pemilu DKI Jakarta Ramdansyah menaruh kecurigaan kenaikan pemilih di Kelurahan Halim Perdana Kusumah, Kecamatan Makassar, Jakarta Timur, yang mencapai 64 persen.
Pemerintah pun merespon kisruh DPT. Menteri Dalam Negeri Mardiyanto yang menyampaikan penegasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seusai rapat kabinet terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, mengatakan pemerintah bertugas mengawal agar data itu valid. Pemerintah tidak melakukan intervensi dalam proses penyempurnaan data.
Bagaimana memaknai kisruh DPT? Sebelum menjawabnya, gunakan jembatan keledai pemikiran. Adalah tidak masuk akal bahwa seseorang ikut serta dalam sebuah diskursus hanya dengan maksud murni untuk mencapai konsensus. Filsuf Jurgen Habermas berbicara mengenai kepentingan dan kebutuhan.
Staf pengajar STF Drijarkara F. Budi Hardiman menulis, dalam pandangan Habermas, kepentingan bukan sesuatu yang statis atau terisolasi dari kepentingan-kepentingan lainnya.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa para peserta diskursus membawa kepentingan-kepentingannya. Justru lewat dan dalam konfrontasi macam itu, terbentuk kepentingan bersama. Tidak dapat ditentukan secara apriori, apakah sebuah kepentingan dapat diuniversalkan, karena hal itu perlu diuji dalam proses diskursif (diwacanakan).
Ini artinya, kisruh DPT hendaknya diangkat dalam proses pewacanaan, meski pemilu tinggal belasan hari lagi. Kalau kisruh DPT mau diwacanakan, maka anggapan bahwa sejarah ditentukan oleh klas yang dominan, perlu didekonstruksi.
Filsuf G. Lukacs mengimbau pentingnya pembentukan kesadaran klas. Karena tidak memiliki kesadaran diri sebagai pelaku sejarah, maka peran serta kaum proletar dalam sejarah terpinggirkan (narratio rerum gestarum), dan dari ingatan akan sejarah (memoria rerum gestarum).
Kisruh DPT disandingkan dengan mode celana hapster mengerucut kepada rumus dekonstruksi, bahwa "saya berpikir maka saya ada" artinya tidak mengiyakan informasi dengan menelan bulat-bulat, tetapi secara kritis mengolahnya, tidak justru serta merta mengafirmasi.
Inilah langgam komunikasi yang membebaskan dan memerdekakan dari belenggu ketidakkritisan. "Saya kritis, saya berwacana, maka saya ada."(*)
Oleh Oleh A.A.Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009