"Sampai Juni, tekanan terhadap nilai tukar rupiah masih ada," katanya, di Jakarta, Selasa.
Menurut Chief Economist dari PT Bank Danamon Indonesia Tbk ini, sangat sulit untuk mengatakan nilai tukar rupiah akan menguat hingga mencapai Rp10.000 per dolar AS.
Ia menyebutkan, tekanan terhadap nilai tukar rupiah itu antara lain efek dari merosotnya nilai ekspor sejak akhir tahun lalu.
"Masih ada efek ekspor yang turun, sementara penurunan impor lebih lambat daripada penurunan ekspor sehingga permintaan dolar masih ada, sementara supply (dari ekspor) sudah berkurang," jelasnya.
Menurut dia, adanya pinjaman siaga yang diberikan sejumlah lembaga internasional dan negara lain, memang membantu meredam tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
"Sebenarnya itu akan lebih efektif jika memang benar-benar di-disburse (dicairkan) untuk memperkuat cadangan devisa. Namun ada kendala karena standby loan itu untuk budget support, bukan untuk cadangan devisa. IMF tidak akan suka jika ini dilakukan," katanya.
Sementara itu mengenai dampak kegiatan kampanye dan pemilu terhadap laju inflasi, Anton Gunawan tidak melihat adanya hubungan kuat antara inflasi dengan daya beli masyarakat semasa kampanye.
"Inflasi terjadi kalau supply dan demand tidak imbang. Pemilu ini dengan segala macam kebutuhannya, kan sudah diantisipasi, banyak pihak yang sudah mempersiapkan logistiknya. Jadi seharusnya tidak akan terlalu banyak mengakibatkan inflasi naik tinggi," katanya.
Ia memperkirakan, inflasi bulanan pada Maret ini hanya akan mencapai sekitar 0,2 persen saja.
"Bahkan bisa lebih rendah karena tertolong oleh masa panen yang mengakibatkan inflasi terdorong ke bawah," katanya. (*)
Pewarta:
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2009