Kuala Lumpur (ANTARA News) - TKI (tenaga kerja Indonesia) di luar negeri selama ini hanya menjadi pelengkap dalam Pemilu karena aspirasi politiknya hanya digunakan untuk menambah suara dalam Pemilu setelah itu kepentingannya dilupakan.

"Sebagai contoh, pada Pemilu 2004, ada sembilan calon yang terpilih menjadi anggota DPR untuk Dapil 2 DKI Jakarta yang mencakup wilayah luar negeri, tapi setelah terpilih sebagian besar ditempatkan di komisi yang tidak berkepentingan dengan aspirasi masyarakat atau TKI di luar negeri," kata Anis Hidayah, direktur Migrant Care, di Selangor, Sabtu sore.

Anis Hidayah mengatakan hal itu dalam dialog Pemantauan Pemilu 2009 yang diselenggarakan oleh PPI (persatuan pelajar Indonesia) Malaysia. Selain Anis, tampil juga ketua PPLN (panitia pemilihan luar negeri) yang juga atase tenaga kerja KBRI Kuala Lumpur Teguh H Cahyono, dan pengamat Pemilu Yudanto.

Sepanjang pengabdian mereka di DPR 2004-2009, sembilan anggota DPR ini kurang memperjuangkan aspirasi buruh migran. "Tidak ada satu pun tindakan politik yang dilakukan sembilan anggota DPR RI yang suaranya dipilih dari buruh migran untuk memberikan perlindungan buruh migran Indonesia," kata Anis.

"Yang paling nyata dan kasat mata adalah tidak ada satu pun anggota DPR yang terpilih dari suara buruh migran menjadi anggota Komisi IX yang membidangi masalah perburuhan," tambah direktur migrant care itu.

"Di komisi I yang membidangi masalah luar negeri, tiga anggota yang terpilih dari suara buruh migran juga tidak bersuara sama sekali kasus Nirmala Bonat (2004), deportasi masal TKI dari Malaysia, eskalasi hukuman mati buruh migran, kasus Ceriyati dan penganiayaan keji empat buruh migran Indonesia di Arab Saudi. Banyak kasus TKI, dan selalu mereka bungkam," tambah Anis.

Dari mereka ada satu orang yang ditempatkan di Komisi IV bidang kelautan, dua orang ditempatkan di komisi V yang membidangi perhubungan, tapi mereka tidak pernah memperjuangkan nasib pelaut Indonesia di luar negeri, katanya.

Berdasarkan pengalaman dalam Pemilu 2004, kurang dari 10 persen buruh migran Indonesia yang menggunakan hak politiknya. Di Malaysia, dari 2 juta lebih buruh migran hanya 400.000 yang terdaftar sebagai pemilih, dan hanya 70.000 yang menggunakan hak pilihnya. Artinya hanya empat persen TKI di Malaysia yang terpenuhi hak politiknya dalam Pemilu 2004, ungkap Anis.

Indonesia semestinya bisa bercermin dengan Filipina yang tidak mengabaikan hak politik buruh migran dalam Pemilu. Filipina memiliki UU khusus yang mengatur pelaksanaan Pemilu bagi buruh migrannya. UU itu mengatur secara detil pemenuhan hak politik buruh migran Filipina, mulai dari proses pendaftaran hingga pelaksanaan Pemilu.

Sementara itu, ketua PPLN Teguh Cahyono mengatakan, bahwa dalam Pemilu kali ini, ada tiga calon anggota DPR yang merupakan permanent residence di Malaysia. Itu menandakan suatu kemajuan bagi WNI di Malaysia yang memiliki calon sendiri pada Pemilu kali ini.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009