(ANTARA News) - Tikrit, kota kelahiran Saddam Hussein, relatif telah tenang dan kembali ke kondisi normal, dan banyak warga kota kelahiran mendiang presiden Irak itu kembali ke rumah mereka setelah bertahun-tahun hidup di pengasingan.
Segera setelah jatuhnya rejim Saddam, kebanyakan kerabatnya, temannya, serta para pejabat dan perwira militer di kota kelahirannya meninggalkan Tikrit, karena takut dihukum ketika tentara Amerika mengambil-alih Negara 1001 Malam tersebut.
Karena khawatir mengenai sesuatu yang dipandang sebagai "kemungkinan memburuknya keamanan dan serangan balas-dendam yang mungkin terjadi" terhadap dia, Ghanim Mohammad (58), yang bertugas sebagai petugas upacara pada masa pemerintahan Saddam, seperti kebanyakan warga lain di kota kelahirannya, juga meninggalkan Tikrit bersama keluarganya.
Meskipun begitu, Mohammad pulang saat situasi keamanan di Tikrit meningkat, tak seperti serangan teror dan ledakan yang merajalela di Ramadi, Diyala, dan Mosul.
Yang baru dengan kota kecil Tikrit, yang terletak sekitar 140 kilometer di sebelah barat-laut Baghdad, ialah patung yang baru dibuat dan dipersembahkan buat seorang pemuda yang melempar sepatunya ke mantan presiden AS George W Bush.
Monumen sepatu sebesar sofa tersebut kini menjadi lambang yang terkenal bukan hanya di negara yang dicabik perang itu, tapi juga di seluruh Timur Tengah, yang penuh dengan pembangkangan terhadap pendudukan tak adil AS dan ketidak-puasan dengan hidup dalam situasi mematikan yang dipenuhi oleh aksi kekerasan, demikian laporan kantor berita resmi China, Xinhua.
Akibat perang, Irak terperosok ke dalam kondisi yang sangat kacau, dan lebih dari 600.000 orang menemui ajal, dibunuh, dan jutaan orang lagi meninggalkan tempat tinggal mereka.
Saat peringatan tahun keenam serbuan pimpinan AS atas Irak kian dekat, rakyat di negeri tersebut, terutama yang tinggal di Tikrit, merindukan masa makmur dan damai di bawah kekuasaan Saddam, sementara mereka sudah jenuh dengan gambaran negara demokrasi yang makmur yang dijanjikan Washington.
"Saddam Hussein memiliki peran sangat besar dalam membangun Irak modern, ia membangun militer yang kuat dan masyarakat yang bersatu," kata Laith Dahham (42), wartawan di satu surat kabar lokal. Ia menambahkan bahwa ia merindukan kehidupan damai masa lalu.
"Ia berhasil mempertahankan persatuan nasional rakyat Irak. Negeri ini tak pernah menghadapi bentrokan antar-aliran ketika Saddam berkuasa, sebenarnya tak seorang pun berani secara terbuka mengangkat masalah sektarian," katanya.
Dahham juga menyampaikan keluhan yang sama mengenai pemerintah Irak saat ini tentang tugasnya yang tak terlaksana. "Politisi baru itu banyak bicara mengenai demokrasi dan hidup yang lebih baik, tapi apa yang kami saksikan hanya lah peningkatan pertikaian yang kian parah di dalam masyarakat kami."
Seorang warga setempat yang hanya menyebutkan namanya sebagai An-Nidah mengatakan ia optimistis dan sangat percaya bahwa Irak akan menjadi negara besar lagi kalau rakyat Irak dapat mewujudkan perujukan yang sejati.
Ia mengutip ucapan Sheikh Ali An-Nida, pemimpin suku Saddam, bahwa "penting untuk rujuk dan melupakan masa lalu serta memberikan kebaikan kepada keturunan kita dan bukan membiarkan mereka saling serang, dan kita harus membangun masa depan tanpa balas dendam".
Ali An-Nida, yang berunding dengan pemerintah Irak guna mengambil jasad Saddam untuk dimakamkan setelah pelaksanaan hukuman mati pada Desember 2006, belakangan meninggal akibat ledakan bom yang dipasang di mobilnya pada Juni 2008.
Ucapannya kini dipuji oleh banyak rakyat Irak, yang hidup dalam penderitaan mengerikan selama enam tahun belakangan.
Sebagai seorang pelopor yang menyerukan perujukan nasional, Ali An-Nida meminta rakyat Irak untuk "melupakan masa lalu dan mengambil pelajaran guna meningkatkan persatuan nasional sebagai tebusan bagi rakyat atas kepedihan mereka sebelum dan setelah ambruknya rejim Saddam".
Kini, tanda mengenai Saddam hampir tak dapat dilihat di kota Tikrit, sementara sebagian besar anggota keluarganya telah membawa pergi gambaran Saddam Hussein dari tembok rumah mereka.
Namun, kini patung sepatu besar mengisi tempat itu, kondisi yang menunjukkan babak baru harapan terbersit di jantung Timur Tengah itu.(*)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009