Kami menyarankan untuk menahan diri dan membeli barang dalam jumlah sewajarnya
Jakarta (ANTARA) - Ketakutan menyebar luas dan cepat, virus corona yang muncul dari hewan telah menular ke manusia. Saat ini, penularannya juga terjadi dari manusia ke manusia.
Virus corona baru atau yang lebih dikenal dengan nama COVID-19 itu menjadi penyebab penyakit flu hingga sindrom pernapasan akut, bahkan berujung pada kematian.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) telah resmi menyatakan COVID-19 sebagai pandemi karena telah menjangkiti 135.168 orang di 119 negara dengan 70.415 orang dinyatakan sembuh dan 4.990 kematian per Jumat (13/3/2020).
Virus yang memiliki mahkota serupa paku itu tidak hanya membuat penderitanya sesak nafas, tapi juga membuat perekonomian dunia ikut "sesak" bahkan nyaris lumpuh.
Tidak perlu jauh-jauh, orang hanya perlu mengarahkan perhatian ke pasar keuangan mengenai seberapa besar keganasan virus itu terhadap aktivitas ekonomi di seluruh dunia.
Terhitung sejak awal tahun ini hingga 13 Maret, nilai tukar rupiah telah mengalami koreksi sekitar 6,39 persen menjadi Rp14.770 per dolar AS.
Pada periode sama, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pun ambyar sebesar 22,10 persen menjadi 4.907,57 poin, termasuk yang terdalam di antara bursa saham di Asia.
Akibatnya, nilai kapitalisasi pasar (market capitalization) BEI menurun drastis menjadi Rp5.697 triliun dibandingkan awal tahun ini sebesar Rp7.247 triliun.
Penurunan data-data pasar keuangan itu tidak lepas dari kekhawatiran investor terhadap perlambatan ekonomi mengingat di Indonesia sempat terjadi "panic buying" atau membeli barang dalam jumlah besar sebagai antisipasi masyarakat saat wabah atau bencana terjadi, terutama untuk produk seperti hand sanitizer, masker, obat-obatan dan multivitamin hingga berbagai makanan pokok yang juga diikuti kenaikan harga.
Konsultan finansial multinasional Grant Thornton Indonesia menilai, setidaknya terdapat tiga kerugian dari "panic buying", yakni meningkatkan inflasi, keuangan rumah tangga terganggu, dan pemborosan.
"Fenomena panic buying ini dapat menimbulkan kerugian secara keuangan tidak hanya secara personal namun juga secara luas," kata Audit & Assurance Partner Grant Thornton Indonesia, Alexander Adrianto Tjahyadi.
Ia mengemukakan aktivitas pembelian yang berlebihan tentu akan memicu kelangkaan berbagai produk dan berdampak pada kenaikan harga barang yang dapat menyebabkan meningkatnya inflasi sehingga bakal mengganggu stabilitas ekonomi Indonesia.
"Kami menyarankan untuk menahan diri dan membeli barang dalam jumlah sewajarnya, kita semua berharap virus Corona dapat ditangani dengan baik di Indonesia," katanya.
Kemudian, lanjut dia, patut dipahami secara tidak sadar bahwa "panic buying" akan berdampak pada keuangan rumah tangga, karena pembelian impulsif bisa saja menyedot dana yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan reguler penting lainnya seperti uang sekolah anak atau cicilan rumah.
Ia menambahkan pembelian berdasarkan kepanikan juga dapat dikategorikan sebagai salah satu tindak pemborosan karena akan cukup sulit untuk menghabiskan barang sebelum masa kadaluwarsanya.
"Dalam perencanaan keuangan rumah tangga, konsumsi ini perlu dikendalikan," katanya.
Melihat potensi kerugian yang akan diakibatkan tentu akan lebih bijak untuk menahan diri dan bersikap sewajarnya dalam menanggapi isu virus corona ini.
Baca juga: Pemerintah umumkan stimulus kedua tangani dampak COVID-19
Kepercayaan publik
Bauran kebijakan untuk menahan perlambatan ekonomi telah dikeluarkan oleh pemerintah. Namun, hal itu dapat tidak berjalan efektif jika penyebaran COVID-19 tidak dapat segera ditangani secepatnya.
Kepercayaan publik terhadap pemerintah dalam menangani COVID-19 di Indonesia dinilai menjadi kunci utama dalam menahan penyebaran COVID-19, dengan begitu kekhawatiran investor maupun pelaku bisnis dapat berkurang.
Ekonom senior lembaga kajian ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri mengatakan edukasi dan komunikasi dari pemerintah dalam menangani COVID-19 di Indonesia masih harus terus ditingkatkan agar publik yakin pandemi ini bisa diatasi.
"Paling penting untuk menghadapi corona adalah 'strong public health policy response'. Jadi, respons kebijakan kesehatan publik yang harus diperkuat. Pemerintah harus 'building confidence' bahwa pemerintah bisa menyelesaikan COVID-19," ujarnya.
Ia menilai kebijakan ekonomi terkait COVID-19 hanya akan berimplikasi relatif kecil terhadap perekonomian nasional. Sebab, situasi saat ini berbeda dengan perlambatan ekonomi tahun sebelumnya, seperti pada 2008 lalu karena gejolak krisis keuangan global yang berawal di Amerika Serikat.
Pada situasi itu, Faisal Basri mengatakan pemerintah Indonesia memiliki banyak instrumen fiskal yang dapat diterapkan. Namun, saat ini tidak hanya instrumen fiskal, tetapi kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
"Saat ini kesehatan. Situasinya kepanikan, tidak bisa diselesaikan oleh kebijakan fiskal saja, tidak efektif dengan corona," ucapnya.
Menurut dia, selain mengalokasikan anggaran untuk perbaikan ekonomi, pemerintah baiknya juga mengutamakan alokasi anggaran untuk bidang kesehatan guna meminimalisir penyebaran virus corona.
Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga harus dapat menahan simpang siurnya pemberitaan-pemberitaan di tengah era digital saat ini, karena cukup sulit bagi masyarakat untuk membedakan antara fakta dengan berita bohong atau hoaks.
Siapkan anggaran
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pemerintah menyiapkan anggaran senilai Rp1 triliun untuk Kementerian Kesehatan dalam upaya penanganan penyebaran COVID-19.
"Dana ini kami ingin memberikan keyakinan bahwa langkah-langkah bisa dilakukan tanpa terkendala anggaran," katanya ketika jumpa pers di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (13/3/2020).
Menteri Keuangan merinci anggaran itu dialokasikan untuk logistik alat pelindung diri, tes laboratorium, serta mobilisasi tenaga kesehatan di rumah sakit, bandara, dan pelabuhan.
Selain itu juga untuk penanganan pasien di rumah sakit, penyelidikan epidemiologi dan pengadaan sarana dan prasarana rumah sakit rujukan.
"Kami akan mendukung kebutuhan anggaran mulai dari pengawasan di pelabuhan, perawatan terhadap 34 pasien COVID di rumah sakit," katanya.
Menkeu juga mendukung kebutuhan anggaran untuk pengadaan disinfektan berkoordinasi dengan pemda untuk sarana dan prasarana transportasi publik yang sudah dilakukan salah satunya di kereta.
Selain itu, melakukan disinfektan untuk sarana prasarana ekonomi seperti pasar, mal dan tempat rekreasi dan pembangunan jaringan telekomunikasi untuk mendata WNI yang bepergian ke luar negeri.
Bersama dengan Kementerian Perdagangan dan Bea Cukai, Menkeu juga akan melakukan konsolidasi dalam produksi dan distribusi masker, disinfektan, obat termasuk produksi dalam negeri dan pengadaan bahan baku impor.
Selain itu, distribusi masker dan disinfektan serta obat termasuk kemungkinan pembangunan rumah sakit tambahan untuk perawatan pasien COVID-19.
"Kami juga berharap perusahaan farmasi Indonesia juga bisa ikut terus mencoba produksi vaksin dari COVID-19," katanya.
Baca juga: Pasar menanti stimulus ekonomi, IHSG diprediksi menguat terbatas
Baca juga: Menguji kebijakan pemerintah dalam meredam gejolak ekonomi
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020