Jakarta (ANTARA News) - Pertumbuhan ekspor nasional tahun ini diperkirakan minus sekitar lima persen, sehingga perlu dicari terobosan baru di tengah dampak krisis global yang makin terasa.
"Tahun ini kita tidak usah berharap banyak kepada kegiatan ekspor karena pertumbuhannya hanya bisa maksimal minus 5 persen," kata Direktur Eksekutif Econit Advisory Group Hendri Saparini saat peluncuran buku "Ekonomi Konstitusi" di Jakarta, Rabu.
Menurut Hendri, dalam kondisi seperti sekarang ini sebagian besar produk ekspor adalah produk primer yang harganya sudah merosot sejak pertengahan tahun 2008.
Ia menjelaskan, sejak Juli 2008 ekspor produk perkebunan sudah merasakan tanda-tanda krisis lebih dulu dengan turunnya harga komoditas pertanian dan perkebunan.
"Penurunan komoditas perkebunan termasuk bahan tambang sudah tergerus jauh sebelum krisis, sehingga sangat wajar jika ekspor pertumbuhannya tertekan," tandasnya.
Karena itu, diutarakan Hendri, harus bisa mengoptimalkan ekspor setiap kelompok barang yang spesifik tetapi bukan ekspor bahan baku. "Karena ekspor kita banyak juga mengeksploitasi sumber daya alam, sehingga kita tekankan pada ekspor yang value addednya tinggi," tegasnya.
Ia berpendapat, sesungguhnya produk-produk Indonesia tidak bisa dikatakan tidak kompetitif, hanya saja daya saingnya harus lebih maksimal lagi.
Jadi harus ada langkah spesifik khusus untuk setiap kelompok barang seperti industri kerajinan, industi makanan harus harus ada kelas dan tujuan ekspornya.
"Ini yang dilakukan Thailand, yaitu strategi ofensif terhadap industri makanan sehingga dapat menggerakkan sektor lainnya," katanya.
Negara tujuan ekspor yang bisa menerima produk-produk Indonesia harus dipertegas karena sejumlah negara melakukan pengawasan terhadap produk makanan yang luar biasa ketat.
"Tetapi kan ada negara-negara yang lain, semestinya kita melakukan identifikasi dan strateginya lebih detil," katanya. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009