Makassar (ANTARA) - Peneliti dari Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar, Merryana Kiding Allo mengatakan, hutan bambu di Tana Toraja mendesak dilestarikan, karena tanaman yang ada bukan hasil tanam generasi baru.

"Hutan bambu yang ada dan masih tetap eksis hingga kini, karena sudah menjadi budaya. Sayangnya, bambu sekarang yang ada itu merupakan warisan. Bukan hasil tanam generasi sekarang," kata Merryana menanggapi kondisi hutan bambu di Toraja yang mulai tereduksi akibat penggunaan yang massif, Jumat.

Baca juga: Hulu Sungai Selatan "surga" tanaman bambu

Menurut dia, penggunaan secara massif itu tidak berimbang dengan laju pertumbuhan satu rumpun bambu setiap tahun. Sebagai gambaran, dari hasil riset yang dilakukannya menunjukkan di Toraja hanya mampu memproduksi 16 (enam belas) batang per tahun.

Pasalnya, lanjut dia, bambu yang berumur 19-25 tahun maksimal hanya mampu tumbuh 16 batang saja. Bisa kita bayangkan pada suatu waktu Toraja akan menggunakan bambu dari luar. Sementara di Toraja sendiri sebenarnya dapat membudidayakan sendiri.

Merryana mengatakan, manfaat bambu itu banyak mulai dari akar sampai daun berfungsi seluruhnya. Bukan hanya sebagai peredam suara, pereduksi polutan, ada banyak lagi manfaatnya.

Pantauan Merry juga menemukan bahwa ada tanda-tanda berkurangnya lahan bagi kelestarian bambu di Toraja, salah satu pemicunya karena adanya pembangunan bandara baru.

"Apabila model pelestarian bambu di Toraja tidak diperbaiki, dalam 5 sampai 10 tahun mendatang akan berkurang," katanya.

Karena itu, lanjut dia, pelestarian hutan bambu di Toraja dan Toraja Utara harus menjadi perhatian bersama antara pemerintah dan masyarakat.

Baca juga: Warga kawasan wisata Hutan Bambu nyatakan telah bebas banjir
Baca juga: Wisata Hutan Bambu masih minim akses
Baca juga: Wisatawan lokal mulai sambangi Wisata Hutan Bambu Bekasi

Pewarta: Suriani Mappong
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020