Jakarta (ANTARA) - Jambu biji mengandung senyawa kandidat potensial yang dapat digunakan untuk menciptakan obat untuk menghambat dan mencegah virus Corona jenis baru atau SARS-CoV-2 penyebab COVID-19, demikian hasil penelitian Universitas Indonesia (UI) dan Institut Pertanian Bogor (IPB).
"Komponen pada jambu biji ini cukup lengkap sebagai bahan alam yang bisa mencegah virus yang menginfeksi manusia," kata Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Dr. dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH, MMB. dalam konferensi pers di Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, Jumat.
Berdasarkan hasil skrining aktivitas terhadap ratusan protein dan ribuan senyawa herbal terkait dengan mekanisme kerja virus, diperoleh beberapa golongan senyawa yang berpotensi untuk menghambat dan mencegah virus SARS-CoV-2 untuk menginfeksi manusia.
Golongan senyawa tersebut antara lain hesperidin, rhamnetin, kaempferol, kuersetin dan myricetin yang terkandung dalam jambu biji dengan daging buah merah muda, kulit jeruk, dan daun kelor.
Hasil penelitian itu juga didukung sejumlah kajian terdahulu yang menunjukkan jambu biji (Psidium guajava) dengan daging buah warna merah muda memiliki kandungan senyawa yakni myricetin, kuersetin, luteolin, kaempferol dan hesperidin.
Myricetin berfungsi sebagai penghambat atau inhibitor helicase SARS coronavirus (Yu et al, 2012). Kuersetin sebagai penghambat atau inhibitor non-competitive 3CLPro dan PLpro (Lin et al, 2005; Nguyen et al, 2012). Luteolin sebagai inhibitor protein furin yang diduga sebagai salah satu enzim yang memecah protein S (spike) virus Corona seperti pada MERS (Peng, et al, 2017; Kleine, et al, 2018).
Kaempferol berfungsi sebagai inhibitor non-competitive 3CLPro dan Plpro (Park, et al, 2017). Hesperidin yang menghambat ikatan domain pengikat reseptor (receptor-binding domain/RBD) dari protein Spike SARS-COV-2 dengan reseptor ACE2 (enzim pengubah angiotensin atau angiotensin-converting enzyme/ACE) pada manusia sehingga diprediksi berpotensi dalam menghambat masuknya virus SARS-COV-2 (Wu, et al, 2020).
Penemuan senyawa kandidat potensial di jambu biji, kulit jeruk, dan daun kelor itu dilakukan oleh gabungan peneliti multi disiplin dari UI dan IPB yang mencakup Departemen Kimia Kedokteran Fakultas Kedokteran UI, Klaster Bioinformatics Core Facilities di Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) Fakultas Kedokteran UI, Klaster Drug Development Research Center di IMERI Fakultas Kedokteran UI, Laboratorium Komputasi Biomedik dan Rancangan Obat Fakultas Farmasi UI, Rumah Sakit UI, Pusat Studi Biofarmaka Tropika IPB dan Departemen ilmu Komputer IPB.
Baca juga: Dampak corona, Kalbe tingkatkan produksi obat herbal jahe 50 persen
Baca juga: Pemerintah ingin bangun industri yang tak bergantung pada satu negara
Baca juga: Dokter: Tanaman obat keluarga lebih efektif tangkal virus
Kandidat antivirus
Penelitian untuk menemukan kandidat antivirus corona itu masih sebatas komputasi belum di tingkat seluler, hewan dan manusia, karena mereka belum melakukan pengujian langsung ke sampel virus SARS-CoV-2 karena tidak memiliki akses ke virus itu. Sementara, sampel virus berada di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (BalitbangkesBalitbangkes) Kementerian Kesehatan RI.
Penelitian itu dilakukan dengan melakukan analisis big data dan machine learning dari basis data HerbalDB yang dikembangkan oleh Laboratorium Komputasi Biomedik dan Rancangan Obat Fakultas Farmasi UI terhadap interaksi 1.377 senyawa herbal dengan struktur virus SARS-CoV-2.
Setelah itu, dilanjutkan dengan pemetaan farmakofor yang menggunakan metode struktur dan ligand. Hasilnya dikonfirmasi dengan menggunakan metode pemodelan molekuler untuk dievaluasi aktivitas antivirusnya.
Namun, masih perlu proses panjang dan penelitian mendalam terkait pemanfaatan senyawa kandidat potensial dalam jambu biji, kulit jeruk dan daun kelor untuk dapat memformulasikan obat yang mencegah virus SARS-CoV-2 menginfeksi manusia.
"Kita perlu penelitian lebih lanjut karena bahan alaminya ada di sekitar kita," ujar Ari.
Di sisi lain, masyarakat dapat mengkonsumsi jambu biji sehari-hari meningkatkan daya tahan tubuh.
Dosen di Departemen Kimia Kedokteran Fakultas Kedokteran UI Rafika Indah Paramita, M.Farm., Apt mengatakan penelitian yang dilakukan tim gabungan itu masih bersifat preliminary atau studi awal yang masih perlu penelitian lebih lanjut. Hasil penelitian itu bisa dimanfaatkan publik.
"Hasil yang kami lakukan saat ini masih berupa prediksi. Tapi prediksi yang kami kerjakan ada dasarnya, ada proses penelitian secara ilmiah berbasis komputer," tuturnya.
Baca juga: RSPI: Belum ada obat khusus diberikan pada pasien virus Corona
Baca juga: Dokter jelaskan cara pasien sembuh dari COVID-19 walau belum ada obat
Baca juga: Perusahaan Jepang kembangkan obat untuk virus corona
Butuh sampel virus
Hasil penelitian itu merekomendasikan bahwa senyawa-senyawa kandidat potensial itu bisa dijadikan alternatif untuk usaha pencegahan terinfeksi COVID-19.
"Walaupun memang kami belum bisa melakukan itu di level SARS-CoV-2 karena kami tidak punya akses untuk mendapatkan virusnya karena memang sekarang yang kami tahu virus ini masih ada di Balitbangkes (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI)," ujarnya.
Untuk itu, pihaknya berharap dapat mengakses virus SARS-CoV-2 dari Balitbangkes Kesehatan sehingga bisa melakukan penelitian lebih lanjut di tingkat sel untuk menguji pemanfaatan senyawa kandidat potensial itu dalam upaya pencegahan virus SARS-CoV-2 menginfeksi manusia.
Senyawa kandidat potensial itu dapat berperan untuk menghambat virus bereplikasi dan mencegah virus menempel pada reseptor ACE2 di manusia.
"Ketika virus masuk, virus butuh memperbanyak diri untuk bisa menginfeksi manusia," tuturnya.
Sementara, protein spike pada virus SARS-CoV-2 berfungsi agar virus bisa berikatan dengan reseptor ACE2 di manusia sebagai jalan masuk virus menginfeksi sel manusia. ACE2 utamanya terdapat di saluran pernapasan manusia.
"Spike fungsinya untuk menempel pada reseptor yang ada di manusia sehingga virus tadi bisa mengeluarkan materi genetiknya sehingga masuk ke sel dan menginfeksi manusia," ujar peneliti di Kaster Bioinformatika IMERI Fakultas Kedokteran UI itu.
Senyawa itu diprediksi dapat menyasar protein khusus di virus SARS-CoV-2 sehingga menghambat aktivitas perlekatan virus penyebab COVID-19 ke reseptor ACE2 di manusia. Dengan demikian, itu dapat memblokir masuknya virus ke sel inang.
"Jadi bisa menghambat replikasinya sehingga dia tidak bisa memperbanyak diri, kemudian bisa menghambat menempelnya si virus ke manusia," tuturnya.
Namun, Rafika mengatakan senyawa-senyawa kandidat potensial yang berasal dari bahan alam itu tidak bisa diklaim sebagai obat atau untuk terapi pengobatan yang menyembuhkan pasien dari penyakit COVID-19.
Senyawa-senyawa itu merupakan kemungkinan untuk pencegahan virus SARS-CoV-2 menginfeksi manusia dengan menghambat replikasi atau pertumbuhan dan perkembangan virus serta masuknya virus ke sel di tubuh manusia.
Per 13 Maret 2020, sebanyak 69 kasus positif COVID-19 diidentifikasi di Indonesia, yang mana dua diantaranya dinyatakan sembuh sementara empat pasien meninggal.
Sementara, sejumlah orang berstatus suspect dan berada dalam pengawasan ruang isolasi di rumah sakit yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan RI, antara lain RSPI Sulianto Saroso, RSUP Persahabatan dan RSPAD Gatot Soebroto.
Meskipun tingkat kematian akibat COVID-19 tergolong rendah yakni 2-3 persen, namun tingkat penyebarannya lebih tinggi bila dibandingkan dengan virus corona SARS dan MERS.
Sejauh ini, para peneliti di dunia berupaya untuk mencegah dan menemukan obat antivirus dan vaksin untuk mengobati pasien yang terinfeksi COVID-19.
Baca juga: Wapres: Wabah corona kesempatan untuk kembangkan obat dalam negeri
Baca juga: Presiden jamin kebutuhan pokok dan obat-obatan domestik memadai
Baca juga: Facebook larang iklan klaim obat corona
Obat antimalaria
Sebelumnya, ahli mikrobiologi dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sugiyono Saputra menjelaskan obat antimalaria, memiliki efek antivirus karenanya bisa digunakan dalam pengobatan pasien COVID-19.
"Jadi zat klorokuin (chloroquine) punya antimalaria sekaligus punya aktivitas antivirus. Obat itu juga dipelajari untuk pengobatan HIV. Meski belum diketahui apakah bisa untuk virus apa saja, tapi yang jelas zat itu pernah diteliti juga punya aktivitas anti-HIV," katanya ketika dihubungi dari Jakarta, Sabtu.
Ahli kesehatan China sebelumnya mengumumkan telah menemukan cara baru dalam menangani pasien COVID-19 dan menyatakan bahwa penggunaan obat antimalaria, chloroquine phosphate, lebih efektif untuk merawat pasien COVID-19.
Dikutip dari Kantor Berita Xinhua, Wakil kepala Pusat Pengembangan Bioteknologi Nasional China di bawah Kementerian Sains dan Teknologi Sun Yanrong mengatakan uji klinis obat tersebut telah dilakukan di lebih dari 10 rumah sakit di Beijing, serta di Provinsi Guangdong China selatan dan Provinsi Hunan di China tengah, dan telah menunjukkan kemanjuran yang cukup baik.
Dalam uji coba, kelompok pasien yang telah menggunakan obat itu membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk pulih.*
Baca juga: Obat penyakit COVID-19 mulai langka di AS
Baca juga: Ahli jelaskan alasan obat malaria bisa digunakan untuk COVID-19
Baca juga: Putus asa hadapi virus corona, orang-orang di China incar obat HIV
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020