Hal itu diungkapkan oleh dosen dan peneliti Universitas Negeri Semarang (Unnes), Saratri Wilonoyudho saat menjadi pembicara dalam seminar "Intelektualisme Semarang: Apa Kabar?" dan syukuran peluncuran buku "Embun Pagi Ngelindur" di kampus Unnes, Selasa.
Mahasiswa sekarang, kata Saratri, lebih rela begadang semalam suntuk untuk menonton televisi, memencet tombol handphone, "chatting" lewat internet, daripada menggunakan daya kritis untuk memahami permasalahan di sekitar mereka.
Ia mengatakan, kapitalisme yang menciptakan budaya massa dan budaya instan tersebut menyebabkan banyak mahasiswa yang datang ke kampus bukan untuk mencari ilmu, namun sekedar untuk mendapatkan gelar.
Indikator persoalan tersebut, katanya, dapat dilihat dari banyak mahasiswa yang datang ke kampus hanya sekedar "ritual" dan tanpa niatan khusus untuk mengembangkan intelektualitasnya.
"Mereka datang ke kampus dengan naik sepeda motor atau mobil mewah, berpenampilan mewah, namun satu buku diktat saja mereka belum tentu memilikinya," kata Saratri.
Ia mengatakan, gerakan intelektual mahasiswa dulu tumbuh subur karena rasa nasionalisme, sehingga banyak di antara mereka yang mempunyai idealisme tinggi dan layak disebut pejuang, berbeda dengan keadaan sekarang.
Oleh karena itu, saat ini gerakan intelektual muda kampus harus kembali dibangkitkan agar mampu menciptakan perubahan yang mendidik masyarakat.
Edi Subkhan, penggiat komunitas Embun Pagi, yang juga menjadi pembicara mengatakan, kondisi gerakan mahasiswa sekarang tidak lagi memiliki konsep dan sikap idealnya sebagai suatu gerakan mahasiswa.
"Satu prinsip ideal gerakan mahasiswa adalah menjadi oposisi yang permanen dan selalu bersikap kritis terhadap semua bentuk ketidakadilan dan diskriminasi, baik yang dilakukan oleh rezim berkuasa ataupun lainnya," katanya.
Namun, kata Edi, kondisi gerakan mahasiswa sekarang justru tunduk di bawah kekuasaan politisi dan partai politik yang ingin merebut kekuasaan.
Sementara itu, pembicara lain, budayawan Semarang Gunawan Budi Susanto mengatakan, intelektual muda kampus dapat tumbuh di mana saja.
"Intelektual muda tidak saja mereka yang memegang laptop ke mana-mana, namun mereka yang sering `nongkrong` dan berada di jalanan," katanya.
Sebab, katanya, intelektual muda harus dekat dengan masyarakat agar mengetahui permasalahan sesungguhnya yang dihadapi oleh masyarakat.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009
remaja-intelektual.blogspot.com/2011/10/fakir-miskin-dan-anak-terlantar.html
di situ terdapat paper saya yang berjudul Post-gerakan mahasiswa, silakan menikmati...
Tapi juga jangan men-generalisir bahwa semua mahasiswa sekarang seperti itu. Di era web 2.0 ini sifat dan aktifitas mengkritisi tak hanya dilakukan dengan cara turun ke jalan. Tapi seorang mahasiswa yg kritis bisa memanfaatkan fasilitas teknologi sejenis blog untuk menuangkan aspirasinya demi kemajuan negara ini.
Sikap santai, tdk perduli & budaya instan memang jadi biang kerok