Jakarta (ANTARA News) - Golkar menilai positif upaya untuk mempertemukan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, dengan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri.
Demikian pernyataan Ketua DPP Partai Golkar Syamsul Muarif dalam diskusi Agenda 23 Wacana dari Slipi bertema "Membangun Pemerintahan yang Kuat dan Efektif" di DPP Partai Golkar Jakarta, Selasa.
Diskusi yang dibuka Sekjen DPP Golkar Soemarsono dan dipandu Caleg Golkar untuk Sumatera Barat Indra J Piliang itu menghadirkan pembicara pengamat politik dari Universitas Paramadina Jakarta, Dr Bima Arya Sugiarto, pengamat politik dari Fisip UI, Arbi Sanit, dan pengamat hukum dari UI Prof Dr Satya Arinanto.
Syamsul mengemukakan, pihaknya bukan saja menilai upaya mempertemukan Yudhoyono dengan Megawati sebagai langkah positif dalam perkembangan demokrasi, tetapi juga siap jika diminta menjadi fasilitator pertemuan kedua tokoh tersebut.
"Golkar siap memfasilitasi pertemuan SBY-Mega. Kita akan berjuang mempersatukan keduanya," kata Syamsul.
Upaya mempertemukan kedua tokoh penting untuk membangun kehidupan politik yang sehat dan tidak perlu ada sikap alergi antarpihak dalam kehidupan politik.
Rencana mempertemukan Yudhoyono-Mega bukan hal yang mustahil dan potensial untuk direalisasikan. Saat ini posisi Golkar berada di tengah, dekat dengan Demokrat dan mempunyai hubungan baik yang terus intensif dibangun dengan PDIP.
Untuk masa mendatang, Golkar ingin agar pemerintahan terbentuk dengan dukungan kuat dari parlemen. "Pemerintahan yang kuat tidak seperti yang saat ini berjalan. Selain didukung oleh mayoritas masyarakat, juga perlu ada dukungan mayoritas parlemen," katanya.
Ia mengungkapkan bahwa posisi Presiden dan Wapres saat ini lemah, walaupun dipilih mayoritas masyarakat, tapi minim kekuatan di parlemen.
Sedangkan Arbi Sanit mengemukakan, untuk membentuk pemerintahan yang kuat, Golkar, Demokrat dan PDIP berkoalisi. "Saya kira masih ada waktu sekitar tiga minggu untuk melakukan pembicaraan yang intensif antar-ketiganya," kata Arbi.
Bima Arya Sugiarto mengungkapkan, dalam berkoalisi tidak boleh ada pikiran bahwa Parpol adalah barang monolit yang satu suara. Untuk masa mendatang, perlu ada pemimpin yang dapat membangun komunikasi dengan seluruh elemen koalisi.
Ia juga menyatakan, perlu ada aturan yang jelas tentang koalisi. Parpol yang terlibat dalam koalisi pemenangan dalam pemilihan presiden harus dilanjutkan dalam koalisi pemerintahan yang permanen.
"Tidak seperti saat ini, koalisi terbelah di tengah jalan dan tentu menghambat rencana yang telah dibangun sebelumnya," katanya.
Satya Arinanto mengemukakan, meskipun seorang presiden bisa menang dengan dukungan partai politik koalisi, tetap jalannya pemerintahan akan terombang-ambing apabila kekuatan di parlemen tidak mayoritas.
Koalisi yang didukung kekuatan tidak mayoritas di parlemen tetap akan menempatkan presiden dan Wapres terkesan lemah. Pemerintahan yang dibangun hanya akan didasarkan pada kompromi antara eksekutif dan legislatif.
(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009