Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Negara BUMN memperkirakan total kebutuhan valuta asing 25 BUMN skala besar kurang dari satu miliar dolar AS atau sekitar Rp10 triliun hingga tahun 2012, dengan asumsi satu dolar AS sama dengan Rp10.000.

"Kebutuhan valas sudah dihitung, saya lupa angka persisnya. Tetapi di bawah 1 miliar dolar AS," kata Menneg BUMN Sofyan Djalil di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Senin.

Dalam rangka mengatasi gejolak nilai tukar dan menekan spekulasi di pasar uang pemerintah memperketat pengawasan valas 25 BUMN besar yang dikaitkan dengan kebutuhan operasional, termasuk di antaranya untuk pembayaran utang jatuh tempo.

Pengawasan kebutuhan valas BUMN akan dilakukan bekerjasama antara Bank Indonesia untuk selanjutnya dilaporkan ke Departemen Keuangan.

"Kita (Kementerian BUMN--red) mengumpulkan data kebutuhan valas di BUMN untuk mengukur seberapa besar supply dan demand (permintaan dan penawaran)," ujarnya.

Ia menjelaskan, berdasarkan laporan hasil pengawasan yang dilakukan Deputi Bidang Pertambangan Industri Strategis, Energi dan Telekomunikasi, dan tidak ada yang mengkhawatirkan.

"Secara keseluruhan kita ingin melihat apakah besaran kebutuhan tersebut akan mempunyai implikasi eksposur valas secara makro," kata Sofyan.

Sejauh ini kebutuhan valas Pertamina masih merupakan terbesar dibanding BUMN lainnya, karena dalam operasionalnya perusahaan itu menggunakan mata uang asing dalam hal ekspor impor.

Menurut catatan, ketika harga minyak berkisar 70 dolar AS per barel kebutuhan valas perusahaan migas pelat merah ini mencapai 30-40 juda dolar AS per hari.

Sedangkan ketika harga mencapai 100 dolar AS per barel, maka penggunaan valas bisa membengkak hingga sekitar 60-70 juta dolar AS per hari.

Menurut Sofyan Djalil, secara keseluruhan kebijakan pengawasan kebutuhan valas juga dilaksanakan otoritas bursa saham kepada perusahaan publik. Sedangkan kebutuhan valas perbankan nasional langsung diawasi oleh BI.  (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009