Jakarta (ANTARA News) - Produser dan Sutradara Film Riri Riza mengatakan film mempunyai tanggung jawab untuk kemanusiaan. "Film sesungguhnya punya tanggung jawab dan dapat berperan penting untuk kemajuan kemanusiaan," kata Riri Riza dalam acara diskusi bertema "Kekuatan Visual Dalam Gerakan Moral" pada Pekan Film Dokumenter Tibet di Galeri Foto Jurnalistik ANTARA di Jakarta, Selasa malam. Diskusi tersebut menghadirkan Riri Riza, pembuat film dan fotografer Jay Subyakto serta rohaniwan dan budayawan Mudji Sutrisno. Riri mengatakan film dokumenter dengan alamnya yaitu kekuatan sinematografi, unsur suara dan kemampuan merekonstruksi pemikiran melalui editing telah terbukti efektif menjadi sarana advokasi pemikiran. Sutradara film yang mulai dikenal dengan "Petualangan Sherina" itu mengatakan film adalah menjadi ekspresi personal dan subyektifitas pembuatanya, kemudian dengan "tools of filmmaking", dapat mengubah gagasan subyektif menjadi sebuah objektivitas yang rasional. "Film dapat menyentuh, memberi pandangan dan pemikiran baru. Film pun memiliki kekuatan puitis, seperti film dokumenter Tibet membuktikan itu," katanya. Pada Pekan Film Dokumenter Tibet di Galeri Foto Jurnalistik ANTARA diputar film-film dokumenter Tibet antara lain "The Raincarnation of Kenshur Rinphoce" (karya Ritu Sorin dan Tenzing Sonam, 50 menit), "Dreaming Lhasa" (karya Ritu Sorin dan Tenzing Sonam, 90 menit), "Wheel of Time` (Wherner Herzog, 80 menit) dan "Free Tibet Concert" (88 menit, Sarah Pirozek), "Leaving Fear Behind" (karya Dhondup Wangchenik dan Fyaljung Tsetrin, 25 menit), dan "Shadow Circus: The CIA In Tibet" (karya Ritu Sorin dan Tenzing Sonam, 50 menit). Pada kesempatan itu juga dipamerkan karya foto bertema "Heaven In Exile" dari empat fotografer yaitu Jay Subyakto, Krish Suharnoko, Yori Antara dan Enrico Soekarno. Riri menjelaskan film "Leaving Fear Behing" menceritakan tentang konsekuensi dari perjuangan kemerdekaan Tibet dari Cina, dimana film itu seolah melawan ketakutan melalui teknik "hidden camera". Film tersebut mengungkapkan persoalan Tibet secara terbuka. Sedangkan Jay Subyakto mengatakan dari perjalanannya bersama tiga rekan fotografer ke Tibet, dia melihat adanya genosida kebudayaan Tibet oleh Cina. "Lhasa (ibukota Tibet) sengaja dirusak," katanya. Jay mengatakan mereka berempat memilih untuk mengekspose Tibet karena adanya penjajahan terhadap Tibet oleh Cina dan itu melanggar hak asasi manusia. Sedangkan Kurator dari Galeri Foto Jurnalistik ANTARA Oscar Motullah mengatakan, Heaven In Exile merupakan sebentuk pameran fotografi yang dipersembahkan untuk menjunjung kebudayaan dan peradaban demokratis, mengumandangkan hakekat saling menghormati sebagai warga dunia, sekaligus menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. "Semacam refleksi solidaritas bagi mereka-mereka yang menderita akibat pembunuhan, penindasan, kekerasan dan genosida kebudayaan," kata Oscar.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009