Prancis adalah penyumbang pasukan terbesar keempat dalam NATO, namun karena terus berseberangan dengan Amerika Serikat, negara itu menyempal dari garis komando bersama NATO yang bertugas merencanakan, melatih dan melakukan operasi bersama.
Dalam satu konferensi bertema pertahanan, Morin menyatakan waktu telah berubah dan bahwa Presiden Prancis Nicolas Sarkozy bersemangat untuk membawa Prancis memainkan peranan penuh dalam aliansi pertahanan terbesar di dunia itu.
"Presiden dan saya sendiri yakin bahwa Prancis bisa memperbarui lagi hubungannya dengan NATO selagi menjadi sekutu independen dan mitra berdaulat bagi Amerika Serikat," katanya.
Prancis keluar dari komando NATO pada Maret 1966 dan memerintahkan pakta pertahanan itu untuk menutup markas besarnya di Prancis, dimana waktu itu Presiden Prancis Charles de Gaulle menyatakan Prancis tidak ingin menceburkan diri ke dalam perang yang bukan menjadi pilihannya.
Keputusan yang diambil ditengah Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur ini adalah puncak dari persaingan menahun antara Prancis dan Amerika perihal siapa yang memegang kendali atas pakta militer itu dan persenjataan nuklirnya.
Meskipun demikian, Paris tetap berada dalam sayap politik NATO dimana hubungan militer dengan NATO justru semakin mesra sejak pemutusan itu, yang berarti isolasi terus-terusan Prancis dari komando gabungan NATO hanya membuat Prancis kehilangan suara dalam perencanaan kebijakan NATO.
Sarkozy, yang menyampaikan pidato sambutan dalam konferensi pertahanan itu Rabu, mengambil langkah penggabungan kembali secara penuh negaranya kedalam NATO dengan tujuan mendapatkan peranan yang lebih luas di Eropa dalam kerangka NATO.
Keputusan Populer
Morin lalu mengatakan bahwa kondisi dalam mendapatkan peran yang lebih luas itu telah dicapai.
"Sebagai prasyarat yang kami butuhkan demi meluncurkan kembali (aliansi) pertahanan Eropa, kondisi itu telah tercipta. Kini, 21 negara dari 27 anggota Uni Eropa bergabung dalam aliansi (NATO), (sehingga) membenturkan Eropa untuk melawan NATO adalah mustahil," kata Morin.
Kembalinya Prancis dalam aliansi ini akan membuat sedikit perbedaan dalam sejumlah misi militer NATO seperti di Afghanistan, dimana aliansi ini menempatkan 2.800 tentaranya, namun prakarsa tersebut menghadapi tentangan dari komunitas politik Prancis dimana ketidakpercayaan pada NATO tetap tinggi.
Sebaliknya, mayoritas rakyat Prancis mendukung penggabungan kembali Prancis dalam NATO, dan hal itu dibuktikan oleh dua jajak pendapat yang dipublikasikan minggu ini.
Hasil jajak pendapta Ifop untuk majalah Paris Match memperlihatkan bahwa 58 persen rakyat Prancis mendukung sedangkan 37 persen lainnya menentang penggabungan kembali Prancis dalam NATO. Sementara, jajak pendapat LH2 menunjukkan 52 persen responden mendukung dan 27 persen menentang.
Kendati Sarkozy mempunyai kekuasaan untuk mengotorisasi reintegrasi Prancis dalam NATO tanpa berkonsultasi dengan parlemen, dia telah memutuskan untuk menyelenggarakan pemungutan suara mengenai isu ini minggu depan guna memberinya legitimasi tambahan bagi keputusannya tersebut.
Para pengkritisi menyebut reintegrasi penuh dalam NATO akan membuat Prancis menjadi kekuatan penyeimbang yang kurang efektif terhadap Amerika Serikat dan memperingatkan bahwa Paris telah menjatuhkan dirinya kedalam konflik dengan cita-cita nasionalnya di masa depan.
Prancis menentang keras invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003 dan Morin menjamin bahwa integrasi ke dalam NATO tidak akan mengurangi posisi Prancis.
"Siapa yang berani mengatakan bahwa masuk dalam komando integral memaksa negara untuk mengambil bagian dalam operasi-operasi (NATO)? Tidak benar itu. Mungkin itu bisa terjadi pada NATO di era 1966, namun itu takan terjadi dalam NATO di era 2009," kata Morin lagi.
Sarkozy akan menjadi penyelenggara pertemukan tingkat tinggi para pemimpin NATO bulan depan yang diperkirakan akan memformalisasi penggabungan kembali secara penuh Prancis dalam pakta militer itu. (*)
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009