Bandung (ANTARA News) - Penggunaan bahan bakar nabati (BBN) dikhawatirkan menimbulkan ancaman bagi kerusakan lingungan dan juga kerusakan sosial yang lebih besar.

Dr Tjandra Setiadi dosen Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Industri Institut Teknologi Bandung (ITB) mensinyalir hal tersebut di Bandung, Selasa.

Penerapan BBN memerlukan lahan yang luas, dan sebagai pemerhati lingkungan atau institusi lingkungan tentu amat prihatin dengan kondisi seperti itu. "Kita akan menghadapi water conflict (krisis air)," ucapnya.

Penggunaan BBN di Indonesia pada tahun 2025 akan mencapai sekitar 15,9 miliar liter per tahun masing-masing untuk etanol dan biodiesel. Diperkirakan kebutuhan lahan khusus untuk produksi BBN tersebut sekitar 6,6 juta hingga 11,6 juta hektare.

Studi Life Cycle Assessment tentang BBN melaporkan bahwa pemakaian BBN dari bahan baku tanaman pangan sebagai bahan baku dapat mengurangi gas rumah kaca (GRK). BBN juga diteliti memiliki energi total lebih tinggi dari bahan bakar berbahan baku fosil.

Namun, laporan terbaru yang komprehensif dan detail menurut Tjandra Setiadi, menyebutkan bahwa efek emisi konversi lahan perkebunan untuk BBN dapat lebih besar dibandingkan penggunaan bahan bakar fosil.

Hal ini sangat bergantung pada lahan asal, apakah berasal dari hutan tropis primer, lahan gambut atau lahan kritis, katanya.

Hambatan dalam merampungkan proyek konversi BBN ini juga terdapat pada fosfor limitation (keterbatasan fosfor) pada lahan. Semakin tingginya kebutuhan pangan saat ini ditambah penerapan BBN kelak akan semakin membatasi jumlah unsur fosfor di lahan.

Jumlah fosfor saat ini banyak yang hilang. Oleh karena itu, sejak dini penggunaa fosfor harus direcover dan di daur ulang. Kita akan kekurangan fosfor.

Untuk jangka pendek, prioritas kebijakan energi harus mampu mempertahankan keberadaan BBN sebagai bahan bakar alternatif tanpa merusak lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung terutama terhadap hutan primer Indonesia, kata Tjandra Setiadi.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009