Jakarta (ANTARA News) - Daftar negara yang jatuh dalam ke lembah resesi semakin panjang membuat para pemimpin dan ekonom dunia mengkhawatirkan bakal lebih lama upaya pemulihan ekonomi global.

Resesi yang ditandai dengan penyusutan (kontraksi) produk domestik bruto (PDB) suatu negara dalam kurun dua kali triwulan secara berturut-turut itu menjadi momok isyarat bahwa tingkat pengangguran bakal membengkak karena sektor produksi barang dan jasa akan mengalami menyusut seiring penurunan permintaan.

Korban resesi ekonomi dari negara industri yang sangat berpengaruh itu adalah Amerika Serikat (AS). Pada Desember 2008 terkuak bahwa PDB negeri Paman Sam itu selama triwulan ketiga 2008 tercatat menyusut 0,5 persen dan triwulan keempatnya menyusut 0,2 persen.

Jepang, sebagai negara yang perekonomiannya terbesar kedua di dunia setelah AS, mengikuti mitra dagang utamanya itu. Negeri matahari terbit itu memasuki resesi setelah diketahui PDB triwulan akhir tahun 2008 dan triwulan sebelumnya sama-sama menyusut 0,1 persen.

Di Eropa, negara-negara utamanya juga jatuh ke lembah resesi, seperti Jerman yang perekonomiannya menyusut 0,4 dan 0,5 persen di kuartal kedua dan ketiga 2008; Inggris mengalami pertumbuhan negatif 0,6 dan 1,5 persen di kuartal kedua dan ketiga 2008.

Negara-negara lainnya yang menambah daftar panjang korban resesi di antaranya Kanada, Singapura, Spanyol, Italia, Prancis, Selandia Baru, Hongkong, Swedia, Kroasia, Estonia.

Negara kecil Baltik, yakni Latvia, malahan menjadi salah satu yang mengalami penyusutan ekonomi paling drastis. PDB negeri itu tecatat minus 10,5 persen di triwulan keempat 2008, setelah triwulan sebelumnya 4,6 persen.

Daftar negara tersebut tampaknya belum akan berhenti, karena krisis ekonomi global yang menjadi penyebab resesi belum teratasi. Bahkan sebagian ekonom dan lembaga multilateral memprediksi krisis ini bisa bakal lebih lama dari yang diperkirakan hanya satu semester saja atau paling lama satu tahun ini.

Profesor ekonomi dari Universitas New York, Nouriel Roubini memprediksi dalam skenario terbaiknya, resesi bisa berlanjut hingga 2010 di negara-negara maju, dan penurunan lapangan kerja akan tetap terjadi di tahun lanjutan itu.

Roubini yang dikenal sebagai "Dr. Doom" karena telah memprediksi kondisi saat ini dua tahun lalu, menyebutkan kesalahannya pada para pemerintah di dunia yang tidak bisa bertindak bersama, juga arah kebijakan ekonomi yang sudah benar ternyata masih sedikit yang diimplementasikannya dan terlambat.

"AS, Eropa dan Jepang harus bertindak bersama untuk mencegah perekonomian dunia tenggelam lebih dalam," katanya dalam konferensi di New Delhi, India seperti dikutip Mail Today.

Lembaga keuangan multilateral, Dana Moneter Internasional (IMF) juga mengkhawatirkan kesuraman ekonomi dunia yang tampaknya akan berlanjut lebih lama hingga 2010. Karena itu IMF menyerukan seluruh pemerintah di dunia untuk melakukan kebijakan stimulus lebih lanjut dengan situmulus tambahan yang disiapkan untuk 2010.

"Dengan kesuraman ekonomi dunia yang diperkirakan selama dua tahun, seharusnya dipertimbangkan menyediakan stimulus anggaran yang melampaui upaya yang sudah diumumkan," kata IMF dalam laporannya berjudul "Perihal Stimulus Fiskal Global" yang akan dipublikasikan sebagai bagian persiapan pertemuan puncak grup 20 negara maju dan berkembang (G-20) di London, 2 April 2009.

"Jika masih ada cukup anggaran yang bisa dilakukan tanpa membahayakan kelangsungan utang pemerintah, harus dipertimbangkan paket stimulus fiskal tambahan," kata IMF dalam laporannya itu.



Resesi Lama



Resesi yang semakin luas dan dalam saat ini, lembaga keuangan multilateral Bank Dunia sudah merisaukannya karena krisis ekonomi global telah mendorong puluhan juta orang ke dalam kemiskinan di negara-negara berkembang dan miskin.

Riset Bank Dunia menyebutkan hingga 53 juta orang lebih telah terjerumus ke dalam kemiskinan di tengah krisis ekonomi yang meluas saat ini dan menjadi ancaman serius untuk mencapai target internasional yang disepakati dalam menanggulangi kemiskinan.

"Hasil riset baru ini menyiratkan ancaman serius untuk pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs) PBB, yang merancang target khusus pada 2015 dalam penanggulangan kemiskinan," kata Presiden Bank Dunia Robert Zoellick.

Tampaknya semua negara di dunia menjadi ikut terkena "getah" krisis yang dipicu dari AS itu. Negara maju dengan masalah resesi dan pengangguran yang membengkak, di negara miskin dan berkembang, tingkat kemiskinan bertambah.

"Seperti kata masyarakat dunia, saat AS bersin, negara lain di dunia menjadi demam. Dalam kasus ini, AS tidak hanya bersin, namun mengalami radang paru-paru kronis yang berat," ujar Roubini, sang profesor dari Universitas New York.

Yang lebih mengkhawatikan lagi, lama resesi tidak bisa secepat seperti yang diharapkan, atau krisis ini bisa berbentuk V, yang artinya berlangsungnya penurunan ekonomi yang tajam ini langsung diikuti pemulihan tajam pula yang setara.

"Kita ini di tengah resesi buruk bentuk U," katanya Roubini. Bentuk U, berarti penurunan tajam akan diikuti periode lama kondisi stagnasi dan baru bisa menguat lagi.

Yang lebih membahayakan, kalau tidak teratasi secara bersama krisis ekonomi global berubah bentuk menjadi L. Arti simbol huruf itu setelah pnurunan tajam, periode dasar terjadinya stagnasi dan produksi yang merosok dibarengi harga berjatuhan karena permintaan berkurang, akan berlangsung lama tanpa tahu kapan bangkitnya.

"Untuk keluar dari situasi ini sangat bergantung stimulus fiskal yang terkoordinasi. Saat ini kita harus mengerti, ini krisis global, ini bukan krisis satu negara," kata Justin Lin, kepala Ekonom Bank Dunia memperingatkannya.

Menurut dia, pemerintah-pemerintah seharusnya menggunakan stimulus fiskal untuk menciptakan pasar baru sejalan dengan memulihkan ekuilibrium dalam sistem ekonomi. Dana itu bisa dialokasikan di proyek yang meningkatkan potensi pertumbuhan ekonomi.

Lin juga menyerukan negara kaya untuk membantu negara miskin berpartisipasi dalam koordinasi global.

Karena itu berbagai pihak hampir senada memperingatkan, agar pertemuan G-20 di London, Inggris itu -- melanjutkan pertemuan G-20 pada November tahun 2008 di Washington -- lebih menitikbertakan aksi bersama yang terkoordinasi, sehingga tidak mengulangi kesalahan terjadinya "Depresi Besar" 1930-an.

Dalam pendapat Roubini,"Kita tenggelam bersama dan harus berenang bersama."(*)

Oleh oleh Zaenal Abidin
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009