Denpasar (ANTARA News) - Empat jenazah dititipkan keluarga di ruang pendingin kamar jenazah Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Denpasar, terkait larangan upacara Ngaben (kremasi jenazah), sehubungan pelaksanaan kegiatan ritual berskala besar Karya Agung Panca Bali Krama (PBK) di Pura Besakih.
"Sesuai ketentuan warga yang meninggal setelah 20 Pebruari hingga selesai seluruh rangkaian PBK yang puncaknya jatuh 25 Maret mendatang dilarang untuk melaksanakan upacara Ngaben maupun mekingsan di geni," kata Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Dr I Gusti Ngurah Sudiana di Denpasar Senin.
Ia mengatakan, meskipun demikian jika ada warga yang meninggal setelah 20 Pebruari agar secepatnya melaksanakan upacara penguburan yang pelaksanaannya dilakukan setelah matahari terbenam, namun tata cara dan pelaksanaannya tetap berlaku seperti biasa.
"Hanya saja tata cara penguburan jenazah tidak menyuarakan kentongan banjar, dengan maksud agar warga tidak ikut terkena `cuntaka` kecuali anggota keluarga dekat," ujar Ngurah Sudiana.
Bagi yang meninggal pemimpin upacara keagamaan (sulinggih), pemangku atau mereka yang tidak boleh dikubur diperkenankan untuk merawat jenazah (nyekeh sawa) di rumahnya masing-masing hingga berakhirnya rangkaian kegiatan di Pura Besakih.
Larangan ngaben selama hampir sebulan itu, rupa warga masyarakat tidak mau repot merawat jenazah di rumahnya masing-masing, namun menitipkan di ruang pendingin RSUP Sanglah, maupun RSU kabupaten dan kota.
Karya Agung Panca Bali krama yang digelar sepuluh tahun sekali, bermakna menyucikan alam semesta menuju tatanan yang harmonis, kali ini dilaksanakan 25 Maret mendatang, bertepatan dengan Tawur Kesanga, sehari menjelang Hari suci Nyepi Tahun Baru Saka 1931.
Ngurah Sudiana menjelaskan, ke depan perlu adanya pemikiran yang bersumber dari sastra agama agar selama pelaksanaan PBK bisa melakukan kremasi jenazah, sehingga warga yang mempunyai kematian tidak perlu repot-repot merawat jenazah.
"Hingga sekarang sumber sastra agama yang mengijinkan melakukan kremasi jenazah itu belum diketemukan," tutur Ngurah Sudiana.(*)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009