"Tiap 15 hari bulan kami tidak bekerja. Pantang dari nenek moyang karena pada 15 hari bulan kami bela (memelihara-Red) badan dengan bedak limau," ujar Cengek (70) tokoh masyarakat suku Asli, salah satu suku asli Riau yang ada di pulau Bengkalis, Provinsi Riau.

Bedak limau merupakan ritual menolak bala yang mereka jalani tiap pertengahan bulan. Pada waktu tersebut aktivitas mereka dalam mencari nafkah dihentikan baik membuat atap rumbia, menakik batang getah, menebang batang sagu atau pun memasang gumbang (menangkap ikan) di laut.

Meski suku Asli yang bermukim di Desa Kelemantan, Kecamatan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis ini menganut ajaran asli nenek moyang mereka animisme dengan menyembah pohon dan mengeramatkan sumur, namun penanggalan mereka merujuk pada bulan Hijriah.

"Tiap 15 hari bulan orang kami baik dia itu laki-laki maupun perempuan besar-kecil berbedak limau. Masing-masing membawa bedak limau ke sumur keramat dan mandi di situ," ujar Cengek.

Bedak yang dimaksudnya terbuat dari beras yang telah direndam beberapa hari yang kemudian ditumbuk jadi tepung yang juga disebut bedak sejuk. Sedangkan limau berupa irisan jeruk purut ataupun jeruk nipis yang dicampur air dari sumur keramat.

Saat siang hari tanggal 15 itulah biasanya warga Asli satu kampung mandi berlimau, membuang sial tidak hanya pada diri sendiri tetapi juga untuk satu kampung.

Sumur keramat yang dimaksud berada di kebun durian, sebuah sumur tua dekat pohon besar yang mereka keramatkan. Jika ada warga yang bernazar saat bedak limau itu maka cukup membawa berbagai bentuk juadah seperti buah-buahan ataupun kue wajit dan apam yang ditempatkan di bawah pohon.

Jika hidangan juadah tersebut disantap kera yang terdapat di sekitar pokok besar dan sumur keramat, maka niat mereka terpenuhi. Kera yang jumlahnya mencapai ratusan ekor itu akan berdatangan dari kawasan hutan yang ada di sekitar pohon besar.

"Bele (logat Melayu untuk kata bela-Red) badan ini maksudnya buang sial membersihkan diri mana tau dalam bulan depan nyawa lepas dari badan," ujar Cengek yang juga Ketua Rukun Warga (RW) di desanya itu seraya tertawa.

Lelaki baya berpenampilan sahaja ini berperawakan kecil, kulit hitam dan mata sipit, seperti halnya suku Akit, salah satu suku asli Riau yang bermukim di pulau-pulau di kawasan pesisir Riau yang berbatasan dengan Selat Melaka.

"Kami beda dengan Akit. Kami bukan suku Akit dan bukan pula suku terasing atau terkebelakang. Kami suku Asli, asli orang Bengkalis," ungkap Cengek sambil menghisap rokok nipah yakni tembakau yang dililitkan di kulit pelepah nipah (Nypa fruticans), sejenis tumbuhan seperti rumbia.

Bagi dia, sebutan asli untuk masyarakatnya yang bermukim di ujung timur pulau Bengkalis bukan saja karena mereka masih patuh dengan tradisi yang diperoleh turun temurun dari nenek moyang mereka tetapi juga pengakuan orang luar terhadap keberadaan mereka sebagai suku atau sekelompok orang yang pertama menghuni pulau Bengkalis, pulau terluar Riau yang berbatasan dengan Malaysia.

"Kami tidak mau disebut sebagai suku terasing atau suku terkebelakang, tidak sedap didengar. Kami suku Asli, orang yang pertama menghuni pulau ini," ujar Cengek.

Ia mengakui asal usul kedatangan nenek moyangnya ke kawasan yang banyak ditumbuhi tanaman rumbia (Metroxylon sagus), jenis tanaman yang batangnya mengandung tepung sagu dan masyarakat tempatan menyebut tanaman rumbia sebagai batang sagu, tidak diketahuinya karena tidak ada legenda atau cerita rakyat yang mengungkapkan asal usul mereka.

"Karena tidak ada asal usul itulah kami menyebutkan diri sebagai suku Asli," tutur kakek tujuh cucu itu.

Adat tradisi mereka hingga kini masih tetap terpelihara. Tolak bala tidak hanya dilakukan sebulan sekali saban 15 hari bulan tetapi juga setahun sekali dengan cara kenduri arwah saat malam tujuh likur atau malam ke-27 di bulan Ramadhan.

Seperti halnya masyarakat Melayu yang bermukim di pulau Bengkalis, untuk menyemarakkan malam ke-27 Ramadhan memasang colok (lampu pelita) di setiap rumah mereka. Penerangan lampu colok itu menghiasi kampung hingga malam takbiran.

Bagi suku Asli walau mereka tidak menjalani ibadah puasa, namun malam ke-27 Ramadhan merupakan saat mereka melaksanakan ritual memberi makan arwah. Setiap rumah penduduk pada malam di penghujung bulan tersebut menggelar kenduri dan halaman rumah mereka diterangi dengan colok.

"Pada malam tujuh likur itu biasanya kami memasak makanan yang sedap pakai rempah. Bau wangi masakan merupakan pertanda bahwa niat baik kami terhadap arwah nenek moyang direstui mereka," ujar Cengek.

Ia mengatakan, setiap rumah menggelar kenduri untuk arwah keluarganya yang telah tiada dengan mengundang orang untuk makan bersama. Warga datang dalam bentuk rombongan dengan singgah dari rumah ke rumah mencicipi makanan tuan rumah dan kemudian singgah lagi ke rumah anggota rombongan lainnya.

Akan sangat aib apabila pada malam tujuh likur itu ada keluarga yang tidak mengelar kenduri dan tidak ikut rombongan. "Bisa dikutuk arwah nenek moyang," ucap Ojol seorang warga suku Asli.

Menurut dia, makanan yang dihidangkan bukan saja untuk orang yang datang bertandang ke rumah yang menggelar hajatan tapi juga untuk roh yang gentayangan atau arwah yang sesat. Untuk arwah seperti itu mereka menempatkan satu hidangan sesajian makanan di luar rumah yang diletakkan di topangan kayu agar letaknya lebih tinggi dari tanah dan tidak diganggu binatang seperti anjing atau kucing.

Rumah Rumbia

Perkampungan suku Asli di Kelementan terbagi dua bagian. Begitu memasuki desa yang berjarak sekitar 50 kilometer dari Bengkalis, ibukota Kabupaten Bengkalis, setelah melewati Desa Ketam Putih langsung bertemu dengan pemukiman warga suku Asli. Perkampungan pertama yang dijumpai disebut Kampung Kebun Durian karena banyak ditumbuhi pohon durian.

Rumah-rumah yang dihuni warga Asli ini amat sederhana selain berupa pondok-pondok beratap rumbia malah ada yang berdinding pelepah rumbia, juga terlihat tidak terawat dan terlihat pula tidak berseri.

Melewati Kampung Kebun Durian, pemandangan perumahan warga terlihat lebih berseri bagian tengah Desa Kelemantan ini dihuni warga yang berasal dari suku Melayu, Banjar, Jawa dan Cina, sedangkan ke atasnya lagi merupakan Kampung Sungai Dua, perkampungan suku asli yang hidup di tengah kepungan batang sagu.

Batang sagu merupakan sumber ekonomi utama warga ini. Pohon rumbia ini tidak hanya batangnya yang diambil untuk dijual ke kilang-kilang sagu tetapi juga daun dan pelepahnya dapat dimanfaatkan untuk atap dan dinding serta lantai rumah.

Jika bertandang ke kampung yang telah lama terisolir ini dan baru dalam empat tahun terakhir terbuka jalan yang menghubungkan desa tersebut dengan pusat ibukota kabupaten, apabila melihat rumah-rumah pondok yang mereka huni, itu berarti keluarga tersebut belum mendapat jatah bantuan dari pemerintah daerah Kabupaten Bengkalis.

"Tiap tahun kami mendapat jatah bantuan rumah dari pemerintah daerah. Tak banyak kadang empat atau lima rumah yang dibangun untuk masyarakat kami dalam setahun. Jadilah," ujar Kepala Desa Kelemantan Abdulrahman.

Ia mengakui, desanya termasuk desa tertinggal. Tidak banyak infrastruktur untuk publik yang ada di desa tersebut. Jika pun ada bangunan jalan, kualitasnya juga kurang memadai hanya jalan desa yang bersemen. Tidak ada infrastruktur air bersih apalagi listrik. Peluang kerja untuk masyarakatnya juga tidak ada.

Daerahnya merupakan kawasan rawa gambut dan untuk mendapatkan air bersih sangat tergantung pada hujan. Bangunan sekolah dasar di daerah itu telah ada begitu juga pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).

Desa berpenduduk 477 kepala keluarga itu dihuni suku Asli sekitar 237 kepala keluarga. Walau kemiskinan mendera masyarakat yang berada di kabupaten terkaya di Indonesia itu, namun bagi masyarakat Asli daerahnya merupakan kampung yang aman damai.

Walau mereka punya keyakinan yang berbeda dengan masyarakat pendatang namun sikap saling menghormati dan kekeluargaan sangat erat di kalangan masyarakat.

"Kami orang Melayu tak pernah berselisih paham dengan orang Asli. Mereka juga terbuka dan demokratis. Bahkan, calon kepala desa yang akan datang tampaknya dari pihak mereka sebab jumlah mereka banyak," ujar Abdulrahman yang telah 18 tahun menjabat sebagai kepala desa dan akan mengakhiri jabatannya dalam pemilihan desa awal April mendatang.

Bagi dia masyarakat Asli merupakan warga yang baik yang taat menjalani tradisinya dan tidak banyak ulah.

"Mereka penurut, hanya saja selama ini pembangunan lambat kami peroleh dan itu sebabnya hingga kini warga kami tidak ada yang maju jadi orang. Tempat kami ini baru beberapa tahun terakhir terbuka dan mulai dikenal orang luar," kata lelaki kurus berkulit putih dengan giginya yang rapi itu.

Walau warga asli itu dikenal taat dengan tradisinya, namun Abdulrahman mengajarkan pada suku tersebut agar tidak menyia-nyiakan jenazah orang yang mati karena jika dibiarkan lama tidak dikubur maka akan mengundang penyakit.

Ayah lima anak itu mengatakan, dalam kematian ada tradisi bagi orang suku Asli untuk tidak segera menanamkan mayat sebelum pesta judi mereka tuntas. Biasanya setelah tiga hari baru mereka menanam si mati.

"Sebagai kepala desa, saya ajak mereka untuk menghormati yang mati agar cepat dikebumikan. Saat mereka menyandera mayat itu berhari-hari tanpa dikasih bahan pengawet. Akibatnya bukan hanya lalat hijau yang datang juga lalat putih yang mengerumuni mayat," ungkap Abdulrahman menceritakan awal pengalamannya menjadi kepala desa belasan tahun lalu.

Menurut dia, walau tradisi masyarakat Asli menyandera mayat selama beberapa hari untuk pesta judi di rumah si mati merupakan warisan nenek moyangnya, namun tradisi tersebut dapat dipatahkannya dengan memberikan pengertian akan sangat berbahaya orang yang mati ditelantarkan terlalu lama.

"Bahayanya bukan karena si mati akan bangkit lagi tetapi bau busuk dan langau yang datang, siapa yang akan sanggup untuk menjenguk si mati?" katanya seraya tertawa mengingat kebiasaan masyarakatnya yang kini telah berubah karena diberi pengertian secara baik. (*)

Oleh Oleh Evy R. Syamsir
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009