Berlin (ANTARA News/AFP) - Satu rancangan undang-undang yang memungkinkan pemerintah Jerman boleh menasionalisasi bank dengan cara menguasai saham milik investor dan tengah diperdebatkan dalam parlemen, dinilai oleh dunia bisnis Jerman dapat merusak reputasi negara itu sebagai tempat yang aman untuk berinvestasi.

Legislasi ini akan meratakan jalan bagi pemerintah untuk mempercepat pengambilalihan darurat bank penyedia kredit perumahan yang lagi sekarat, Hypo Real Estate, setelah Berlin gagal membujuk perusahaan investasi swasta asal AS, JC Flowers, untuk menyerahkan 24 persen sahamnya di bank tersebut.

Tatkala langkah legalisasi serupa telah diambil oleh negara-negara Eropa lainnya -terutama Inggris dan Irlandia-- manuver hukum seperti ini dianggap kontroversial di Jerman yang memang reputasinya rendah dalam mendatangkan investasi asing dan tengah menghadapi resesi terburuk dalam enam dekade terakhir.

Dalam kata lain, konsep penguasaan aset perusahaan-perusahaan bermasalah menjadi perdebatan hangat di Jerman karena alasan kesejarahan.

Gagasan ini mengingatkan orang pada langkah Nazi mengambilalih properti orang Yahudi pada 1930an dan penyitaan usaha swasta yang dilakukan Jerman Timur pasca Perang Dunia Kedua.

Namun, kalangan bisnis melihat lebih dari sekedar itu dengan lebih memprihatinkan dampaknya pada arus investasi masuk di tengah ekonomi Jerman yang tenggelam lebih dalam lagi ke kesuraman ekonominya.

Dieter Hundt, Presiden Kamar Dagang Jerman, mengungkapkan kemarahannya atas langkah legislasi itu.

"Tak perlu melakukan hal itu, bahkan untuk penyelamatan terakhir..cara nasionalisasi atau pengambilalihan apapun adalah tidak pada tempatnya dan menjadi beban bagi posisi Jerman sebagai tempat untuk berinvestasi. Langkah apapun untuk menerobos tabu ini mesti dihindari," kata Hundt.

Hanns Ostmeier, anggota dewan eksekutif pada Asosiasi Modal Swasta dan Modal Ventura Jerman (BVK) berkata, "Secara pribadi saya menilai pengambilalihan adalah hal yang sangat, sangat berlebihan, sebuah tindakan yang sangat ekstrem."

"Perasaan pribadiku adalah saya merasa sangat tidak nyaman melihat hal-hal itu terjadi," kata Ostmeier kepada AFP.

Dia merasa pihak berwenang akan menyadari bahwa mereka telah menempuh langkah lebih dari yang mereka perlukan, begitu mereka mengkaji lebih dalam situasi yang sebenarnya.

Mempertimbangkan Jerman sebagai kekuatan ekonomi terbesar Eropa dan tetap sebagai eksportir terbesar dunia tahun lalu, legislasi itu akan kian memperburuk citra kurang baik Jerman selama ini dalam menarik modal ventura dan investasi swasta.

Kajian terbaru dari Asosiasi Modal Ventura Eropa (EVCA) telah menempatkan Jerman pada posisi 22 dari 27 negara-negara Uni Eropa yang iklim investasinya atraktif.

Dari persentase produk domestik brutonya (PDB), Jerman juga berada dibawah rata-rata Eropa dalam menarik investasi swasta, termasuk Inggris, Prancis dan Belanda, demikian gambaran EVCA.

Citra negara ini sebagai tempat investasi modal ventura terpukul tajam lima tahun lalu setelah seorang politisi senior Jerman menggambarkan para pemodal swasta sebagai belalang.

Waktu itu, Ketua Partai Sosial Demokrat Franz Muntefering menyatakan, lembaga pemodal swasta bertindak bagai sekumpulan belalang tak bertanggungjawab yang merengkuh sukses lewat jalan pintas, menghisap dan membuat perusahaan mati perlahan-lahan.

Meskipun demikian, kendati tidak didukung kalangan politisi tertentu, perusahaan-perusahaan berbasis modal ventura masih memainkan peran besar dalam perekonomian Jerman dengan mempekerjakan lebih dari sejuta orang pada 2007, demikian statistik BVK.

Para pendukung modal ventura mengklaim investasi seperti itu memberi likuiditas vital kepada dunia usaha yang kesulitan mendapatkan modal dan mendorong kegiatan inovasi di perusahaan-perusahaan.

Inilah yang membuat pemerintah mesti lebih berhati-hati untuk tidak mencampakkan investor dengan undang-undang radikal seperti itu, kata Ostmeier.

"Langkah seperti itu berpotensi luar biasa dalam memundurkan reputasi dan merupakan hal yang benar-benar sulit ditempuh. Semua itu memiliki dampah jangka panjangnya," kata dia. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009