Dhaka (ANTARA News/AFP) - Fazlul Karim sedang menghirup secangkir tehnya pagi itu saat ia mendengar senjata-senjata menyalak di markas tentara di satu sudut ibukota Bangladesh, Dhaka.

"Aku segera memanggil temanku Kolonel Rezaul Kabir yang sedang ada di dalam markas Bangladesh Rifles (korps senjata, BDR)," kata pensiunan mayor jenderal ini mengawali cerita mengenai insiden yang berlangsung 25 Februari lalu.

"Dia berkata, "Bapak mesti berbuat sesuatu. Sekitar 20 tentara menembaki kami," aku pria berumur 57 tahun dan mantan komandan BDR ini.

Karim adalah salah seorang dari orang terakhir yang berbicara dengan Kabir yang ditembak oleh para prajurit BDR. Selain Kabir, 70 perwira senior lainnya terbunuh dalam pertempuran selama 33 jam di markas tentara seluas tiga kilometer persegi itu.

Mayat mereka yang ditumpuk dalam got dan lubang dangkal, ditemukan beberapa hari setelah pertempuran itu berakhir, dengan diperkirakan sekitar 1.000 prajurit langsung menyamar berpakaian rakyat biasa.

Ketegangan dalam tubuh BDR, pasukan paramiliter yang berpatroli dengan perbatasan Bangladesh dengan India dan Myanmar, perlahan mendidih selama berbulan-bulan setelah para prajurit menuntut kenaikan upah, perbaikan kondisi dan perubahan dalam struktur komando.

Kebanyakan para perwira senior BDR ditugaskan Angkatan Darat untuk dua sampai empat tahun, sedangkan para pengawal perbatasan yang berpenghasilan 70 dolar AS sebulan mengeluhkan tidak memperoleh promosi dan keluhan mereka ini tidak didengar.

Ironisnya kebanyakan orang Bangladesh tidak bisa menerima kenyataan mengapa soal kesejahteraan prajurit harus berakhir liar.

Lima orang, termasuk yang diduga sebagai pemimpin aksi, telah ditangkap.

"Disamping keluhan prajurit, ada hal lain bahwa dibalik ini ada para penyusup dari luar. Kebrutalan seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya," kata Karim sambil menambahkan bahwa dia percaya bahwa sebagian besar prajurit BDR yang menembak itu tidak berencana untuk memberontak.

"Saat terjadi pertempuran adalah mudah bagi semua kalangan prajurit terlibat di dalamnya. Tak semua prajurit BDR pemberontak."

Pada April 2001, ketika Karim ditugaskan di BDR, 16 tentara India dan tiga tentara Bangladesh terbunuh dalam salah satu pertempuran seru di perbatasan bersama kedua negara.

"Ini mungkin balas dendam atas apa yang terjadi pada 2001. Ada konspirasi. Tetangga-tetangga kita tidak ingin tentara kita dan BDR kuat," kata Karim.

Hubungan India dan Bangladesh membaik dibawah Perdana Menteri Sheikh Hasina yang baru saja terpilih, namun Hasina seringkali dikritik oleh kubu Anti India atas hubungan dekatnya dengan tetangganya yang lebih besar itu.

Media India sendiri menyalahkan seorang politisi dari partai oposisi Partai Nasionalis Bangladesh (BNP) yang berhubungan dekat dengan Pakistan.

Media India menyatakan pemberontakan itu bertujuan mengalihkan perhatian dari janji Hasina untuk mengadakan peradilan penjahat perang terhadap orang Bangladesh yang berperang demi Pakistan selama perang sembilan bulan demi kemerdekaan Bangladesh pada 1971.

Pihak lainnya menuduh kaum esktremis muslim, yang beberapa diantaranya langsung menunjuk partai politik Islam yaitu Partai Jamaat-e-Islam, berada dibalik serangan itu.

Ataur Rahman, profesor politik pada Universitas Dhaka menyatakan bahwa teori konspirasi bisa membuat kebenaran tidak tersingkap.

"Jika anda membuat bingung orang, maka kebenaran tak akan terungkap. Kita sekarang sedang dibawa ke arah pembingungan itu. Ini satu situasi yang sulit dan kotor," katanya.

Insiden itu telah meningkatkan kekhawatiran pada masa depan pemerintahan sipil Hasina yang mengambilalih kekuasaan dari satu rejim dukungan militer kurang dari dua bulan lalu dan menguak perseteruan hebat antara penguasa terpilih dengan militer.

Angkatan Darat telah menggelar penyelidikannya sendiri atas peristiwa pembunuhan itu.

AD dikabarkan marah karena Hasina menjanjikan amnesti kepada para pemberontah yang menyerah, selain karena Hasina menolak penggunaan kekerasan untuk mengkhiri peristiwa ini.

"Kita mesti mencari tahu apa yang telah terjadi. Ini adalah tugas pemerintah dan militer, namun realitanya kebenaran penuh tidak akan pernah terungkap," kata Rahman. (*)

Oleh
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009