"Soal posisi politik TNI/Polri sudah tepat, dan saya kira akan sangat riskan jika mereka juga harus ikut memilih," kata Mihkael Raja Muda Bataona kepada Antara di Kupang, Senin.
Dia mengemukakan pandangan itu, menjawab pertanyaan mengapa posisi politik Aparatur Sipil Negara (ASN) tetap dipertahankan untuk memilih, sedang TNI/Polri dilarang, padahal mereka sama-sama adalah pelayan publik.
Baca juga: Pakar dari Undana sebut posisi politik ASN dan TNI/Polri berbeda
Baca juga: Bawaslu Kepri ingatkan kandidat pilkada tidak libatkan TNI-Polri
Menurut dia, akan sangat riskan jika TNI/Polri harus ikut pemilih, karena militer dan polri adalah aparatur yang diberikan kekuasaan oleh negara untuk menegakkan hukum dan diberi hak monopoli atas kekerasan.
Dia mengatakan, ketika mereka dilibatkan dalam urusan politik praktis, maka hak monopoli atas kekerasan itu bisa menjadi destruktif karena digunakan untuk membelah kelompok kepentingan yang mereka dukung.
Ini artinya, tugas mereka sebagai penegak hukum dan pemegang hak monopoli atas kekerasan bisa dibelokkan untuk mengintimidasi, atau menggerakkan kekuatan pemilih yang menguntungkan kelompok mereka, katanya.
Baca juga: Survei: Masyarakat puas atas kinerja TNI/Polri
Karena itu, posisi politik TNI/Polri maupun ASN harus tetap dipertahankan.
Pandangan hampir sama disampaikan Dekan Fakultas Fisip Unwira, Dr Marianus Kleden yang mengatakan, jangan bandingkan ASN dengan tentara.
Menurut dia, tentara mempunyai senjata yang bisa disalahgunakan untuk kekerasan demi pemenangan.
Dia menambahkan, ASN tetap boleh memilih karena sama dengan warga sipil yang lain. Bedanya, ASN bisa menjadi mesin birokrasi yang disalahgunakan. ***2***
Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020