Jakarta (ANTARA News) - Perbaikan dalam pengelolaan sektor minyak dan gas bumi (migas) harus menjadi prioritas utama pemerintah sebagai solusi mencegah keterpurukan Indonesia yang bisa mengarah menjadi "negara gagal" (failed state). "Sektor migas dipilih karena punya peran penting dalam perekonomian nasional mengingat penerimaan negara dari sektor tersebut sangat besar," kata pakar energi Dr Kurtubi saat berbicara dalam peluncuran buku "Memerangi Sindrom Negara Gagal" karya Effendi Siradjuddin di Jakarta, Kamis. Kurtubi menilai, dalam sepuluh tahun terakhir pengelolaan migas di Indonesia telah gagal memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Padahal dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 secara tegas dinyatakan bahwa kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Penilaian Kurtubi tersebut juga didasarkan pada fakta bahwa sebagian besar sumber daya migas di Indonesia saat ini dikuasai asing. Sementara produksi minyak Indonesia terus mengalami penurunan dalam sepuluh tahun terakhir. "Itu semua merupakan indikasi yang sangat jelas telah terjadi kekeliruan dalam pengelolaan migas di Indonesia," katanya. Menurut Kurtubi, kesalahan terbesar dalam pengelolaan migas nasional justru terletak pada isi Undang-Undang Migas No.22/2001 yang menghapus peran badan usaha negara untuk mengelola kekayaan migas. Sebagai gantinya, dibentuk Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas). Pembentukan BP Migas, lanjut Kurtubi, merupakan kesalahan besar karena lembaga negara ini bukanlah badan usaha. "Jadi meskipun BP Migas diserahkan kekayaan minyak yang berlimpah tidak bisa dikelola sendiri karena bukan perusahaan. Akibatnya banyak lapangan migas jatuh ke tangan asing," jelasnya. UU Migas tersebut juga mensyaratkan proses investasi yang cukup panjang dan lintas lembaga. Akibatnya, calon investor harus menghadap ke banyak pejabat negara mulai dari ditjen migas, kehutanan, badan pertanahan hingga pemerintah daerah. "Maka tidak heran jika tidak banyak investasi baru di sektor migas dalam sepuluh tahun ini," katanya. Atas dasar itu, Kurtubi minta pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berani untuk merevisi atau bahkan mencabut keberadaan UU Migas No.22/2001. "Kembalikan pengelolaan migas ke tangan negara dengan merevisi UU Migas atau ubah status BP Migas menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN)," katanya. Sementara Effendi Siradjuddin saat menyampaikan pidato peluncuran bukunya mengatakan, penulisan buku "Memerangi Sindrom Negara Gagal" dipicu oleh kecemasan terhadap masa depan Indonesia yang bisa menjadi negara gagal, seperti Somalia dan Sudan. "Indonesia bisa menjadi negara gagal jika tidak bisa 'survive' (selamat) pada abad ke 21. Arus globalisasi dengan segala dampaknya terus bergulir, tetapi Indonesia tetap dihadapkan pada berbagai masalah di dalam negeri yang amat berat," ujar Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) ini. Meski begitu, Effendi tetap optimis Indonesia masih punya harapan untuk bangkit. Syaratnya, menurut dia, Indonesia harus punya pemimpin yang kuat dan berkarakter, punya keberanian mengambil tindakan, insiatif dalam pembangunan serta memiliki visi jauh ke depan. Pemilu mendatang menjadi sangat krusial untuk melakukan perubahan fundamental dalam manajemen pengelolaan negara. Siapa pun presiden yang dipilih harus mampu mentransformasikan Indonesia menjadi negara entrepeneur yang maju, katanya. Indonesia bisa mengikuti keberhasilan negara-negara maju dalam penyinergikan tiga pilar utama pembangunan lewat penerapan Indonesia Incorporated 2020. Ketiga pilar dimaksud adalah masyarakat akademis, bisnis dan pemerintah/government (ABG), demikian Effendi Siradjuddin.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009