"Kami sangat menyayangkan keluarnya SE itu, karena tidak mendorong jaksa untuk berkembang," kata peneliti ICW, Emerson Yuntho, di Jakarta, Senin.
SE itu tertanggal 30 April 2008 Nomor B-778/d/I:/04/2008, perihal pengiriman tulisan atau artikel atau pemberitaan untuk dimuat dalam media massa.
Emerson menyatakan inti surat itu mengingatkan kepada jajaran kejati, apabila hendak mengirimkan atau memuat tulisan di surat kabar harus mengajukan izin atau persetujuan terlebih dahulu dari jaksa agung.
"Kebijakan itu tidak mendorong jaksa untuk berkembang, dan berpotensi melanggar konstitusi untuk menyampaikan di muka umum," katanya.
Disebutkan, dasar dikeluarkannya SE itu terkait dengan Kasubsie Penuntutan di Kejaksaan Negeri (Kejari) Madiun, Hendra Apriana yang telah menulis artikel di surat kabar Republika tertanggal 29 Maret 2008.
"Hendra Apriana dimutasikan ke Papua, akibat pemberitaan itu," katanya.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Jasman Pandjaitan mengatakan, soal larangan jaksa untuk memberikan pendapat demikian sebenarnya sudah tertuang dalam Peraturan Urusan Dalam Kejaksaan Nomor 091/JA/XI/1990 tertanggal 1 November 1990.
"Pokoknya jaksa yang membawa nama kejaksaan itu, dilarang berbicara, itu etika seorang jaksa. Pada prinsipnya jaksa itu dilarang beropini, kalau mengaku sebagai jaksa dilarang beropini," katanya.
Demikian pula dengan membuat karya tulis, jaksa sebelumnya harus mendapatkan izin terlebih dahulu.
"Kita tidak melarang orang untuk berpendapat, tapi tujuannya untuk mengatur jaksa supaya tertib," katanya.
Disamping itu, ia juga mengatakan soal jaksa yang mendapatkan beasiswa untuk pendidikan, sebelumnya harus meminta izin terlebih dahulu kepada pimpinan.
"Kita tidak menghalangi jaksa kalau mau pendidikan, tapi harus minta izin," katanya. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009