Mereka bertahan tidak jauh dari halaman pengadilan karena tidak menerima persidangan kedua terdakwa (Jelitai dan Mata Gunung) pada Kamis (26/2).
Mereka minta kedua terdakwa dibebaskan, karena kedua kelompok yang bertikai menggunakan senjata rakitan atau "Kecepek", parang dan tombak pada Desember 2008 di Desa Air Hitam, kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) Kabupaten Sarolangun telah diselesaikan secara hukum adat Orang Rimba yang juga dikenal suku "Kubu".
Puluhan orang rimba yang terdiri dari orang tua dan anak-anak pada sidang perdana di PN Sarolangun itu sempat tertunda satu jam lebih, karena terjadi kerusuhan saling dorong dengan petugas kepolisian.
Kejadian itu disebabkan mereka memaksa masuk ke persidangan. Ketika mereka menembus masuk ke ruang sidang sempat bersembah sujud dengan deraian air mata agar para para hakim dan jaksa melepaskan kedua terdakwa.
Sementara itu, Asisten Manajer Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Sukma Reni mengatakan, pihaknya yang selama ini melakukan pembinaan dan pemberdayaan Orang Rimba di TNBD hanya bisa sebatas memberikan bantuan hukum dengan dua orang pengacara.
"Itu usaha kami dengan memberikan pembelaan hukum, bersalah atau tidak kedua terdakwa tergantung keputusan hakim nantinya," ujarnya.
Direktur Eksekutif LSM Kelompok Peduli Suku Anak Dalam (Kopsad) Kabupaten Sarolangun, Budi Vrihasphati Jauhari, ketika dihubungi mengatakan, kondisi puluhan Orang Rimba yang masih bertahan di sekitar pengadilan amat memprihatinkan.
Mereka saat ini kekurangan bahan makanan, sementara pihak-pihak terkait kurang mempedulikan. Kopsad dan sejumlah LSM pegiat lingkungan di Sarolangun telah memberikan bantuan makanan ala kadarnya.
"Kita jangan melihat mereka sebagai komunitas Orang Rimba, tetapi kita harus melihat mereka sebagai manusia, sebab itu saya berharap kepada pemerintah dan semua lapisan masyarakat agar membantu makanan untuk mereka, terutama anak-anak mereka yang banyak kelaparan," ujarnya.(*)
Copyright © ANTARA 2009