Hua Hin, Thailand (ANTARA News) - Setelah berulangkali ditunda karena persoalan dalam negeri Thailand, KTT ASEAN ke-14 akhirnya dibuka pada 28 Februari 2009 pukul 14.30 WIB di Hua Hin, Thailand, oleh Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva.
Pemerintahan Abhisit seperti mengemban misi ganda, yaitu mempertaruhkan reputasi dalam negeri dan kehormatan Thailand di mata ASEAN sehingga sepertinya memaksa diri mengadakan pertemuan, sekedar memenuhi jadwal.
Dari beberapa kesempatan, Abhisit lebih berupaya memesankan dan menggambarkan citranya serta pemerintahannya kepada rakyat Thailand bahwa mereka kredibel dengan mampu menyelenggarakan kenduri politik regional terpenting di Asia Tenggara itu.
Abhisit dan Thailand agaknya lupa bahwa ada soal mendesak yang harus dikomunikasikan ASEAN kepada rakyatnya mengenai bagaimana organisasi kawasan ini mensinkronkan diri dengan situasi-situasi internasional yang mengitarinya, tidak berjuang demi menampilkan citra pemerintahan saja.
Akibatnya, perhelatan regional paling penting Asia Tenggara ini --dan mungkin salah satu momen politik terpenting Asia-- dilaksanakan alakadarnya dan serba darurat yang diantaranya dicerminkan oleh penyelenggaran acara yang tak begitu representatif untuk pertemuan internasional sekelas Konferensi Tingkat Tinggi.
Kota kecil Hua Hin yang dipilih Thailand sebagai tempat penyelenggaraan acara tampak tidak siap menyelenggarakan perhelatan ini, sementara panitia acara tampak mengalami disorientasi karena dalam satu hal terkesan amat ketat untuk sejumlah hal yang tak perlu, namun di satu sudut lain sangat longgar.
Pertemuan yang mestinya mengisyaratkan pesan bagaimana seharusnya ASEAN merespon bagaimana ASEAN bereaksi atas perkembangan global yang mempengarunginya itu dikomunikasikan kepada rakyat, tak tersampaikan penuh, karena persoalan-persoalan sepele seperti fasilitasi media.
Ruang Media Center dan fasilitasi media untuk acara sangatlah terbatas, padahal pertemuan kali ini momental karena bertepatan dengan persoalan-persolan gawat yang melingkupi kawasan, regional Asia dan global, disamping pula hadapan isu genting yang mesti direspon serius ASEAN.
Persoalan-persoalan itu diantaranya krisis keuangan global, hubungan Thailand-Kamboja yang cenderung membeku, pengungsi Rohingnya, perkuatan komitmen ASEAN pada perlindungan HAM, aplikasi Piagam ASEAN, Inisitif Chiang Mai dalam hubungannya dengan prakarsa lembaga supervisi dana regional.
Jika dibanding, misalnya pertemuan memperingati 50 tahun Konferensi Asia Afrika di Jakarta tahun 2005, panitia acara memfasilitasi media dengan memberi ruang-ruang khusus bagi media, tak hanya klasifikasi asing dan domestik, namun juga stand-stand khusus, maka "media centre" KTT ASEAN Ke-14 terbilang sederhana.
Ruangan sempit seringkali terlalu penuh orang sehingga mesti antri untuk menggunakannya, sementara komputer yang disediakan hanya 50, padahal ratusan wartawan meliput acara ini.
Memang, para wartawan melengkapi diri dengan sistem distribusi informasi canggih, namun koneksi internet tidak setiap kali mulus dan menghambat distribusi berita. Beberapa wartawan acap mengaku frustasi karena tiba-tiba komputer mati padahal berita sudah dibuat.
"Duh kesal saya, sudah hampir selesai komputer malah tiba-tiba mati. Jadi tidak bersemangat melanjutkannya," keluh Sheila Dumlao dari Filipina.
Pengalaman dia dialami pula ANTARA dan beberapa rekan wartawan Indonesia diantaranya Tri Mulyono dari Kompas.com.
Pergerakan media untuk melakukan peliputan menyeluruh atas apa yang terkomunikasikan dalam Pertemuan kali ini terhambat karena penyelenggara membatasi personel dan akses media ke pertemuan-pertemuan yang membahas isu-isu kritis seperti HAM dan krisis keuangan global.
Hambatan Teknis
"Kami (Departemen Luar Negeri) sudah menyampaikan keluhan kepada penyelenggara mengenai hal ini, karena kami ingin pers kita (Indonesia) bisa menyampaikan apa yang berlangsung di KTT ini kepada masyarakat," kata sumber pada Departemen Luar Negeri Indonesia yang menolak jadi dirinya diungkapkan.
Dia mengungkapkan, negara seperti Filipina juga menyampaikan keluhan serupa, apalagi beberapa kalangan ASEAN menyebut negara ini mengirimkan tim peliput penuh.
Dia menyatakan, jawaban penyelenggara murni karena persoalan teknis yang dihadapi penyelenggara acara, termasuk fasilitas dan ruang yang relatif sempit untuk ukuran pertemuan kawasan.
Di lapangan, para peliput acara, termasuk dari Indonesia, memang menghadapi kendala yang seharusnya tak perlu terjadi seperti situs pusat media (media centre) yang berjauhan dari acara yang cukup menyita tenaga dan fokus liputan wartawan.
Sikap ini seperti menolak tekad ASEAN yang ingin membuat organisasi subregional ini lebih berorientasi rakyat ke rakyat, tak lagi formal seperti terlihat sekarang.
Bagaimana tidak, jika fasilitasi media massa saja terbatas, bagaimana rakyat ASEAN bisa mendapatkan informasi yang lengkap mengenai sampai sejauh mana ASEAN merespon persoalan-persoalan aktual praktis yang menyentuh langsung rakyat dan bagaimana bisa hal itu dianggap membumikan ASEAN ke tingkat rakyat.
Lain dari itu ada kesan "bagi-bagi jatah" dalam KTT ASEAN Ke-14 ini yang secara resmi mencantumkan dua tempat berbeda, Cha-am dan Hua Hin, yang bisa dianalogikan seperti Jakarta dan Depok. Konon kedua daerah ini saling bersaing untuk menjadi penyelenggara resmi.
Tak heran, para delegasi dan media diinapkan di dua daerah berbeda ini, tidak pada satu situs berdekatan seperti Jakarta Convention Centre dan kawasan Sudirman di Indonesia, dimana kepentingan media dan delegasi difasilitasi secara sempurna, lengkap dengan protokoler standard seperti seharusnya "event" besar diselenggarakan.
Tak Artikulatif
Di luar fasilitasi media, agenda pembicaraan dalam KTT juga terlihat tidak fokus dan tidak artikulatif atau tidak menghujam ke permasalahan yang sedang dihadapi negara-negara ASEAN.
Kecuali kesepakatan bilateral dan multilateral lain diluar kerangka ASEAN, isu-isu yang dibicarakan terlihat belum menjawab persoalan penting yang dihadapi ASEAN.
Kalaupun pertemuan kali ini disebut fokus membahas kelembagaan khusus HAM ASEAN dan respon ASEAN terhadap dampak krisis keuangan global, pernyataan ASEAN acap tak mengisyaratkan mereka fokus dan menjawab langsung permasalahan yang ada.
Misalnya, selama lebih dari dua hari media massa mempertanyakan Myanmar dan bagaimana sebenarnya posisi ASEAN dalam soal HAM, namun jawaban yang disampaikan para pemimpin ASEAN tidak tegas.
Itu tak saja tertutur dari mulut Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan, tapi juga para pemimpin ASEAN, dari PM Thailand Abhisit Vejjajiva sampai Menteri Luar Negeri Malaysia dan Ketua Panel Tingkat Tinggi bagi Pembentukkan Lembaga HAM ASEAN Sihasak Phuangketkeow.
Berulangkali para pemimpin dan pejabat ASEAN menyebut keseimbangan dalam promosi dan proteksi dalam penegakkan HAM di ASEAN, tetapi mereka berbeda dalam menafsirkan dua aspek itu.
Indonesia yang menempuh demokrasi bebas, juga Filipina, lebih berani mengartikulasikan aspek proteksi ini dengan mencoba melenturkan benteng non intervensi dalam soal penegakan HAM, namun negara ASEAN lain yang memang berbeda paham demokrasi, tidak cukup progresif mengenai aspek ini.
"Saya akan tanyakan nanti, apa maksud non intervensi dalam isu HAM karena kita tak bisa menyebut pelanggaran kemanusiaan sebagai urusan dalam negeri semata," kata Menteri Luar Negeri Indonesia Nur Hassan Wirajuda.
Namun, Sihasak berkilah ASEAN tidak perlu terlalu ambisius dan memaksakan diri menjadikan badan HAM seefektif menurut standard internasional karena mesti mempertimbangkan keadaan-keadaan khusus yang dihadapi ASEAN sehingga proses berikutnya haruslah evolusioner.
"Ini akan menjadi standard ASEAN dalam soal HAM. Ini bukan persoalan berkekuatan atau tidak, tetapi bagaimana kita merefleksikan realitas yang dihadapi ASEAN," kata Sihasak.
Maksud Sihasak, agaknya ada perbedaan paham berdemokrasi mendasar antara ASEAN dimana ada yang kehidupan demokrasinya lebih maju seperti Indonesia dan Filipina, namun ada juga yang berbeda 180 derajat dengan dua negara itu seperti Myanmar, Laos, Vietnam dan Brunei.
Lagi pula, mengutip PM Malaysia Abdullah Badawi, ada kesenjangan sosial dan ekonomi diantara ASEAN sehingga tidak bisa serta merta menerapkan standard atau pedoman.
Perbedaan ini sulit, namun tampaknya berusaha keras diatasi ASEAN, tentunya dengan aplikasi "Cara ASEAN" yang berbeda terang misalnya dengan cara tegas Uni Eropa.
Kenyataannya, sikap ambigu ASEAN ini mengundang kritik sana sini, terutama media Barat dan para aktivis HAM Asia Tenggara.
Kemarin, saat para pemimpin pemerintahan dan kepala negara ASEAN membuka KTT ASEAN ke-14, para aktivis HAM dan pro demokrasi Myanmar serta juga Kamboja berunjukrasa menyorot komitmen ASEAN ini.
Mereka mengkritik sikap pemerintahannya, Pemimpin Myanmar Thein Sein dan PM Kamboja Hun Sen yang menolak bergabung dalam Komisi HAM ASEAN jika melibatkan pihak independen.
"Penolakan rezim Myanmar menunjukkan bahwa mereka tidak beritikad untuk berubah," kata salah seorang aktivis Myanmar Khin Omar.
Semoga komitmen ASEAN dalam soal HAM, seperti dihasratkan Indonesia, seserius diinginkan semua kalangan ASEAN dengan menuruti standard-standard internasional mengenai HAM selaras dengan Deklarasi Universal mengenai HAM. Dan di pertemuan nanti, Thailand lebih siap dan serius menyelenggarakan acara-acara ASEAN. (*)
Oleh Oleh : Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009