Hua Hin, Thailand (ANTARA News) - Dari Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan sampai Ketua ASEAN Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva, dari Menteri Luar Negeri Indonesia Nur Hassan Wirajuda sampai Menteri Luar Negeri Malaysia, berbicara soal Myanmar dan isu (kelembagaan) hak asasi manusia (HAM).

Dengan menyorot soal sensitif penegakkan HAM, ASEAN agaknya ingin bergerak maju dan mengukuhkan jati dirinya sebagai organisasi regional kredibel dan lebih maju dibanding asosiasi regional lainnya di dunia ini, tentunya kecuali Uni Eropa.

"Kita menginginkan mekanisme ASEAN menjadi lebih berbobot dan efektif," kata Hassan Wirajuda dalam jumpa pers usai mengikuti pertemuan para menteri luar negeri ASEAN dengan Panel Tingkat Tinggi mengenai Kelembagaan HAM ASEAN, Jumat.

Menjelang Pertemuan Tingkat Tinggi ASEAN di Hua Hin, Thailand, Sabtu, para delegasi sepuluh negara anggota ASEAN fokus membahas dua isu utama, yaitu hak asasi manusia dan antisipasi regional terhadap dampak krisis keuangan global.

Namun, yang paling menonjol dan senantiasa disinggung pers, adalah soal kelembagaan HAM ASEAN dan ironisnya, isu yang satu ini selalu dihubung-hubungkan dengan Myanmar.

Faktanya Myanmar selalu dilihat sebagai batu sandungan oleh mitra-mitra ASEAN dalam perkuatan hubungan menyeluruh dengan salah satu organisasi subregional paling efektif di dunia.

ASEAN melihat gejala ini, namun yang melegakkan ASEAN adalah adanya
perubahan sikap dari negara-negara besar mitra ASEAN, khususnya Amerika Serikat, dalam bagaimana mendekati ASEAN dan isu Myanmar.

"Kita mengharapkan Myanmar bisa memanfaatkan perubahan sikap dari Amerika Serikat terhadap Myanmar," kata Hassan.

Dalam soal ini, seorang diplomat senior ASEAN mengonfirmasikan Amerika Serikat telah membuka pintu yang lebih dialogis dalam soal Myanmar dan memberi ruang sangat lapang pada ASEAN untuk mengambil terobosan bagi penyelesaian persoalan HAM dan demokratisasi di negara itu.

"Yang paling mengesankan adalah ada sinyal dari Myanmar bahwa mereka 'willing to listen' (bersedia mendengar)," kata diplomat senior itu merujuk kesediaan Myanmar untuk menuruti saran dan mekanisme ASEAN bagi pemajuan kehidupan politiknya sehingga isolasi internasional terhadap negara itu mengendur.

Isyarat AS

Sekretaris Jendral ASEAN, kutip Hassan Wirajuda, telah mendapatkan pesan langsung dari AS, melalui Menteri Luar Negeri Hillary Clinton yang menjumpainya di kantor Sekretariat ASEAN di Jakarta pertengahan Februari, bahwa AS mengisyaratkan telah mengubah pendekatannya terhadap Myanmar.

Dengan mengunjungi ASEAN, AS tampak memberi mandat kepada ASEAN dan mekanisme regional Asia Tenggara untuk menjalankan inisiatif-inisiatifnya dalam kerangka solusi Myanmar.

"Tak hanya 'shift' (pergeseran sikap) dalam soal Myanmar, namun juga dalam hal 'community building' (pemajuan kemasyarakat madani) dan integrasi ASEAN," kata Hassan.

Dalam podium berbeda di kesempatan yang sama, Ketua ASEAN Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva juga menyampaikan penilaiannya mengenai adanya isyarat kemajuan sikap dari pemerintah Myanmar dalam soal mutakhir yang disorot luas negara-negara Barat yang ironisnya adalah salah satu mitra kuat ASEAN.

"Myanmar telah mengisyaratkan untuk mengikuti saran ASEAN mengenai soal perbaikan situasi domestiknya," kata Abhisit usai bertemu dengan para pejabat teras ASEAN dan Sekjen ASEAN dalam jumpa pers dengan media setempat.

Pernyataan Abhisit ini berkorespondensi dengan penilaian Menlu Hassan Wirajuda mengenai apresiasi Indonesia dan ASEAN atas kesediaan berbicara dan respon yang konstruktif dari Myanmar pada upaya internasional dibawah kepemimpinan PBB mengenai resolusi konflik politik di negara tersebut.

"Kita menghargai keputusan Myanmar untuk terbuka pada Utusan PBB (Ibrahim Gambari). Kita juga mengharapkan Myanmar terbuka kepada masyarakat dan organisasi internasional," kata Hassan.

Lain dari itu, ada kebutuhan mendesak dari internal ASEAN untuk dapat mengimplementasikan Piagam ASEAN yang baru yang secara eksplisit memesankan demokratisasi --yang kaitannya erat dengan komitmen pada perkuatan HAM-- untuk seluruh anggota ASEAN.

Yang menarik dari soal ini adalah eksposisi sikap Indonesia yang ternyata lebih tegas dalam soal hak asasi manusia, termasuk kaitannya dengan cara menghubungkannya dengan komitmen Myanmar pada matra isu tersebut.

Dalam kaitan ini, Menlu Hassan Wirajuda mengkritik sikap sejumlah sejawat ASEAN yang berusaha mempertahankan metode lama dalam menafsirkan hubungan prinsip non intervensi dengan komitmen ASEAN dalam soal penegakkan HAM.

"Kita harus pertanyakan lagi prinsip non intervensi dalam soal HAM. Maknanya harus jelas. Tidak bisa masalah HAM itu dipandang sebagai hanya urusan dalam negeri saja," kata Hassan.

Puas

Meskipun demikian, seperti diutarakan para diplomat top ASEAN lain, Hassan mengaku puas atas kemajuan-kemajuan yang dicapai ASEAN dalam isu HAM.
Lima bulan lagi, papar Hassan, Panel Tingkat Tinggi akan mempresentasikan 'terms of reference' (TOR) mengenai kelembagaan HAM ASEAN.

"Kita mengusulkan berbentuk 'body' (komisi) dengan huruf kecil, bukan 'body' dengan huruf besar (council)," katanya sambil mengungkapkan alasan pemakaian kata commission lebih pas dan lebih berkekuatan.

Indonesia juga mengajukan prakarsa yang reformatif dan lebih maju dalam soal HAM di ASEAN ini dengan menekankan unsur proaktif atau tindakan aktif ASEAN dalam perlindungan HAM di Asia Tenggara.

"Kita melihat adanya keperluan untuk menyeimbangkan aspek promosi dan proteksi dalam soal HAM," tandas Menlu Hassan Wirajuda.

Dalam intra Panel Tingkat Tinggi HAM Sendiri, berkembang sebuah kesepahaman untuk membuat satu kelembagaan yang tidak saja bertugas mendorong perlindungan HAM, namun menempatkan kelembagaan HAM berperan aktif menegakkan HAM di kawasan ini.

Ketua Panel Tingkat Tinggi bagi Pembentukkan Lembaga HAM ASEAN Sihasak Phuangketkweow menegaskan rekomendasi TOR dari Panel ini adalah merupakan langkah selanjutnya dari sebuah standard komitmen ASEAN dalam soal HAM.

Yang jelas, meminjam pernyataan Hassan Wirajuda, selama tujuh tahun sejak inisiatif badan khusus HAM ASEAN ini dikemukakan dan selama tujuh bulan Panel Tingkat Tinggi bertugas, ASEAN telah bergerak ke arah yang lebih maju, meskipun tidak bisa terburu-buru dilakukan karena ASEAN membutuhkan adaptasi dengan kondisi khas ASEAN.

"Kami sepakat hal ini harus merefleksikan realitas ASEAN mengenai hak asasi manusia. Kita juga setuju proses tersebut harus lebih dalam lagi dibahas," kata Sihasak dalam briefing wartawan di Hua Hin, Thailand, Sabtu siang.

Panel Tinggi Para Ahli telah mempromosikan satu skema penyelesaian konflik dengan menekankan solusi pada mekanisme arbitrase.

Secara eksplisit, Panel Tingkat Tinggi telah mengajukan sejumlah elemen TOR bagi kelembagaan HAM, termasuk empat mandat promosi dan empat mandat perlindungan (proteksi) HAM ASEAN.

Keempat mandat proteksi yang membuat Komisi HAM ASEAN lebih berkekuatan untuk mengikat seluruh anggota ASEAN adalah kewajiban sosialisasi rekomendasi ASEAN soal HAM kepada masyarakat, menyusun aturan main yang mendefinisikan pelanggaran HAM di ASEAN, pengkomunikasian langsung kepada otoritas, dan desakan untuk ratifikasi traktat HAM ASEAN.

Masalahnya, baik dari keterangan-keterangan yang disampaikan Menlu Hassan Wirajuda maupun Sihasak Phuangketkeow, ASEAN sepertinya menghindari terburu-buru menawarkan mekanisme lebih tegas dalam penegakkan HAM, termasuk relevansi prinsip non intervensi dengan pemajuan kehidupan demokrasi dan penghormatan HAM oleh seluruh anggota ASEAN.

Meskipun demikian TOR mengenai lembaga HAM ini akan menjadi landasan bagi ASEAN untuk bergerak lebih jauh.

"TOR ini akan menjadi kerangka landasan kerja yang memungkinkan penglibatan semua aspek HAM di dalamnya," kata Sihasak sambil menunjuk penglibatan aktif negara-negara ASEAN dalam Komisi HAM ASEAN lewat penunjukkan wakil-wakilnya di badan ini. (*)

Oleh Oleh : A. Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009