Bangkok (ANTARA News) - Selain agenda untuk menggalang kerjasama ekonomi, isumengenai penegakan Hak Azasi Manusia (HAM) merupakan ujian, bahkanmungkin bisa menjadi batu sandungan bagi kekompakan negara-negaraanggota ASEAN di masa mendatang.

Payung bagi penegakan HAM dinegara-negara ASEAN sendiri yakni pembentukan Badan HAM ASEAN (ASEANHuman Rights Body-AHRB) sesuai yang diamanatkan pada Pasal 14 PiagamASEAN akan dibahas bersama oleh kesepuluh Menlu ASEAN bersama timnyadalam KTT ASEAN ke-14 yang akan berlangsung di kota Hua Hin, Thailand,27 Februari sampai 2 Maret.

Dalam Pasal 14 ayat 1 Piagam ASEANdisebutkan, ASEAN akan membentuk AHRB sejalan dengan prinsip yangdiamanatkan oleh piagam tersebut yakni untuk meningkatkan danmemberikan
perlindungan HAM serta kebebasan dasar.

SedangkanPasal 14 ayat 2 menyebutkan, AHRB akan diberlakukan sesuai dengan TORyang akan dirumuskan dalam pertemuan tingkat menlu ASEAN.

Setelahdraft pertama berisi TOR dibahas dalam KTT ASEAN ke-14 di Hua Hin,pembentukan AHRB diharapkan sudah bisa difinalisasikan pada pertemuanMenlu ASEAN yang dijadwalkan Juli mendatang, saat kepemimpinan(chairmanship) ASEAN dipegang oleh Thailand.

Dirjen MasalahASEAN Deplu Thailand Vitavas Srivihok, seperti yang dikutip BangkokPost baru-baru ini mengakui bahwa pembentukan AHRB merupakan salah satutopik bahasan utama KTT ASEAN ke-14 mengingat hampir seluruh negaraASEAN menghadapi tantangan yang sama dalam masalah pelanggaran HAM.

"IsuHAM di tiap-tiap negara ASEAN sangat sensitif dan berbeda satu danlainnya sehingga harus ditangani perlahan-lahan," ujarnya.

Srivihok juga mengimbau agar masyarakat serta organisasi massa (NGO)ikut mendorong terciptanya mekanisme yang akan menjadi saluran bagi implementasi perbaikan dan perlindungan HAM di kawasan ini.

ASEAN memunculkan isu HAM pertama kalinya dalam pernyataan bersama yangdikeluarkan dalam pertemuan Bangkok pada l993 dan sepuluh tahunkemudian (pada 2003) dipertegas lagi dalam kesepakatan yang dituangkandalam "Bali Concord".

Namun demikian, sejumlah pertanyaanmasih muncul, dalam kenyataannya nanti, apakah negara-negara ASEAN akanbenar-benar proaktif mempromosikan penegakan HAM, begitu pula
dengan keberadaan AHRB nanti, apakah citra penegakan HAM di kawasan ini akan menjadi lebih baik?

Contohnya,dalam kasus pelanggaran HAM misalnya seperti penilaian tentanglambannya proses peradilan terhadap para terdakwa yang terlibat dalamkasus tewasnya aktivis HAM di
Indonesia, Munir. Apa yang bisa diperankan oleh ASEAN sebagai kelompok regional untuk menangani kasus-kasus semacam itu ?

Mungkin saja, jika AHRB sudah terbentuk, isteri almarhum Munir,Suciwati, tidak perlu lagi mencari-cari dukungan internasional untuksegera menuntaskan proses peradilan atas kematian tidak wajar suaminyayang sudah berjalan bertahun-tahun lamanya.

Mengenai sejumlahkasus pelanggaran HAM di Myanmar misalnya, seperti yang diungkapkanoleh Koordinator Jaringan Alternatif ASEAN di Myanmar, Debbie Stothard,hal itu sudah diteriakkan oleh berbagai kelompok NGO, namun rezimmiliter negara itu tetap bergeming.

Debby berpendapat, denganditandatanganinya Piagam ASEAN, perhimpunan bangsa-bangsa di AsiaTenggara ini diharapkan menjadi kekuatan penyeimbang. Maksudnya,keberadaan ASEAN hendaknya lebih mengakar, mewakili aspirasi komunitassampai tingkat akar rumput.

Jika seseorang di salah satu negarahak-haknya dilanggar, komunitas dari negara (anggota ASEAN-red) lainhendaknya paling tidak ikut mendengarkan dan menunjukkan kepeduliannya.

Pentingnya keterlibatan rakyat jelata terhadap pelaksanaanpasal-pasal yang tertulis dalam Piagam ASEAN termasuk penegakan HAMditekankan pula oleh Sekjen ASEAN, Surin Pitsuwan.

Dalampertemuan dengan para utusan kelompok masyarakat (civil society groups)baru-baru ini ia mengingatkan kepada warga ASEAN untuk ikut bertanggungjawab mengawal Piagam ASEAN, mengingat efektivitas dan ketanggapanpenyelesaian isu-isu yang diatur dalam kesepakatan tersebut berada ditangan rakyat.

Buku saku berwarna hijau (Piagam ASEAN-red), kataSurin, bukanlah penggalan literatur, melainkan sebuah dokumen yangmenjamin ruang gerak keikutsertaan rakyat.

"Tugas anda-andasekalian untuk memberikan rohnya, jadi (jika tidak mampu-red), jangansalahkan diplomat, pemerintah atau pejabat," kata Surin mengingatkan.
Masalah Rohingya

Sejumlah pengamat melihat bahwa masalah "manusia perahu" Rohingya dari Myanmar yang sebagian terdampar di Aceh baru-baru ini akan menjadi ujian pertama bagi ASEAN untuk
menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya.

Dalam pembukaan (preamble) Piagam ASEAN disebutkan tekad untuk mematuhi nilai-nilai baru berupa prinsip demokrasi,hukum, tata kelola yang baik serta penghormatan dan perlindungan
terhadap HAM dan kebebasan dasar,namun tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional yakni menghormati prinsip kedaulatan, persamaan, integritas teritorial, non-interferensi,
konsensus dan kebhinekaan.

Benturan nilai bisa muncul untuk melaksanakan pasal 1 ayat 7 dengan pasal 2 ayat 2, butir e dan f.

Penggalan pasal 1 ayat tujuh berisi penguatan demokrasi, peningkatantata kelola yang baik dan penegakan hukum, perbaikan dan perlindunganHAM dan kebebasan dasar terkait hak dan kewajiban negara-negara anggotaASEAN.

Sementara dalam pasal 2 ayat 2 butir e disebutkan,non-interferensi ke dalam persoalan internal negara-negara anggotaASEAN, dan pasal 2 ayat 2 butir F menyebutkan penghormatan terhadap hak-hak negara anggota dengan mengedepankan sikap bebas dari campur tangan asing, subversi dan pemaksaan (coercion).

Dr. Sarinna Areethhamsirikul dalam artikelnya, di Bangkok Post,berpendapat bahwa sulit bagi ASEAN untuk sekaligus dengan semangat baruingin mengangkat nilai-nilai HAM, keadilan sosial dan kebebasan, jika"nilai-nilai tradisional" seperti prinsip "non-interferensi" dan musyawarah-mufakat (consultation) tetap dipertahankan.

Dalam kasus pengungsi Rohingya, pemerintah Myanmar menolak statuskewarganegaraan mereka dan menganggap kelompok etnis Rohingya sebagaimanusia tanpa kewarganegaraan (stateless).

Kelompok etnismuslim Rohingya yang diperkirakan berjumlah sekitar 3,5 juta jiwasemula didatangkan oleh penjajah, Inggeris, dari wilayah Asia Selatansebagai pekerja kasar, bermukim di kawasan Arakhan, Myanmar.

Solusi atas kasus Rohingya menjadi dilematis bagi ASEAN, jika kelompoketnis tersebut dinilai bukan warga negara Myanmar (yang berdasarkanPiagam ASEAN harus dilindungi hak-haknya-red) atau jika ASEANmenganggapnya sebagai masalah dalam negeri Myanmar yang tidak perlu dicampuri (berdasarkan prinsip non-interferensi).

Faktanya, selain Myanmar - tempat bermukimnya etnis Rohingya sejakbeberapa generasi sebelumnya - masalah ini juga telah melampauilintas-batas negara, menyeret tetangganya, Thailand dan bahkanIndonesia juga terkena getahnya untuk menampung sementara"manusia-manusia perahu" Rohingya yang terdampar di wilayahteritorialnya.

ASEAN yang dibentuk pada 8 Agustus l967beranggotakan 10 negara yakni Brunei, Filipina, Indonesia, Kamboja,Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand dan Vietnam.

PMThailand Abhisit Vejjajiva dengan nada keras membantah tudingan bahwakapal-kapal patroli aparatnya telah menyeret perahu pengungsi Rohingyake tengah laut, sementara PM Malaysia Abdullah Badawi menyerukankerjasama regional untuk menangani masalah pengungsi Rohingya.

"Tidak ada alasan, pemerintah Thailand melakukan pelanggaran HAMterhadap manusia perahu itu walaupun mereka sebenarnya adalah imigrangelap, " kata PM Thailand, Abhisit Vejjajiva.

SedangkanAbdullah Badawi menganggap, masalah pengungsi Rohingya, bukan hanyaurusan negara asal pengungsi (Myanmar-red) saja, tetapi juga masalah dinegeri tempat persinggahan (Indonesia, Malaysia atau Thailand-red) atau negara tujuan lainnya.

Selain isu-isu menyangkut pelanggaran HAM, masih akan banyak "PR" yangharus dikerjakan oleh ASEAN, mulai dari ancaman kesenjangan ekonomi dansosial, degradasi lingkungan hidup,
konflik-konflik baik internalmaupun yang bersinggungan satu sama lain dengan sesama negara anggotaASEAN (mengenai batas wilayah), sampai pada ancaman terorisme danperdagangan gelap manusia (illegal human trafficking).(*)

Oleh oleh Nanang Sunarto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009