"UU ini baru satu bulan, jangan terburu-buru diambil sikap negatif," katanya usai menghadiri peluncuran buku "Jalan Baru untuk Tambang: Mengalirkan Berkah bagi Anak Bangsa" karya mantan Dirjen Mineral, Batubara, dan Panas Bumi Departemen ESDM Simon Sembiring di Jakarta, Jumat.
Hadir pula dalam acara itu pejabat Departemen ESDM, anggota DPR, asosiasi, dan pengusaha tambang.
Hal itu dikatakannya menanggapi survai konsultan terkemuka asal AS, PricewaterhouseCoopers (PwC) yang menyebutkan, UU Minerba memperparah iklim investasi pertambangan di Indonesia yang sudah terpuruk akibat krisis keuangan global.
Menurut Purnomo, investor mesti menunggu aturan pelaksanaan UU tersebut.
Sesuai hirarkri peraturan perundang-undangan, lanjutnya, aturan pelaksanaan lah yang memiliki ketersinggungan besar dengan kepentingan investor.
Ia mencontohkan, UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas yang sampai sekarang menuai kritik, namun investasi dan industri tetap tumbuh.
"Sampai saat ini, sudah ada 107 wilayah kerja yang ditandatangani dan di antaranya sudah ada yang menemukan hidrokarbon," katanya.
Purnomo juga mengatakan, survai PwC dilakukan pada perusahaan tambang, sehingga tentunya mewakili suara pengusaha.
Selain juga, UU merupakan produk politik, sehingga pastinya tidak bisa sesuai dengan keinginan semua pihak.
Dirjen Mineral, Batubara, dan Panas Bumi Departemen ESDM Bambang Setiawan mengatakan, UU pertambangan yang baru sudah sesuai dengan situasi saat ini.
"Misalkan soal pembatasan wilayah. Hal itu dimungkinkan sebab sekarang ini sudah banyak informasi, sehingga tidak perlu luasan tambang yang besar," katanya.
Meski menilai UU Minerba akan memperburuk iklim investasi, namun PwC juga menyebutkan investor tambang mengharapkan pemerintah segera menerbitkan peraturan pelaksanaannya agar ada panduan yang jelas bagi pertumbuhan industri di masa mendatang.
Jika aturan pelaksanaan UU tersebut jelas, maka diperkirakan industri tambang akan kembali bangkit tahun depan.
(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009