Kupang (ANTARA) - Pengamat hukum dari Universitas Nusa Cendana Kupang Dr. Karolus Kopong Medan, SH.Mhum mengatakan, butuh tim khusus untuk menangani konflik di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).
"Dalam menangani konflik di Adonara seperti ini, menurut saya, harus dilakukan terus-menerus dan butuh tim khusus untuk menanganinya," kata Karolus Kopong Medan kepada ANTARA di Kupang, Jumat, terkait banyaknya kasus perang tanding di Adonara dan bagaimana penyelesaiannya.
Konflik antar suku dan atau antar kampung di Adonara, yang oleh Ernest Fater seorang antropolog Jerman dilabelkan sebagai "Pulau Pembunuh", sepertinya tetap melekat dan terwariskan hingga kini.
Kasus demi kasus perang tanding yang menewaskan sekian banyak nyawa manusia, terus saja terjadi mewarnai dinamika kehidupan masyarakat di pulau yang terletak di ujung timur pulau Flores ini.
Baca juga: Kapolres Flores Timur: Situasi kamtibmas di Sandosi aman terkendali
Menurut dia, rentetan kasus perang tanding sebelumnya seperti kasus tanah Nepang yang melibatkan masyarakat Desa Redontena dengan Desa Adobala, dan kasus tanah Bele yang melibatkan masyarakat Lewobunga dengan masyarakat Lewonara belum tuntas ditangani.
Kini muncul lagi kasus tanah Wule Wata yang melibatkan suku Kwaelaga dengan suku Lamatokan di Desa Sandosi dan Desa Tobitika, Kecamatan Witihama yang menewaskan enam orang.
Dan tentunya masih banyak kasus tanah, yang jika dibiarkan berlarut akan berpotensi terjadinya perang tanding atau bentrokan antar suku atau kampung, kata Kopong Medan.
Dia menambahkan, sangat disayangkan konflik Tanah Wulen Wata di Pantai Bani Desa Baobage, Kecamatan Witihama ini harus pecah lagi dan menewaskan sekian banyak nyawah manusia.
"Saya tidak mau mempersalahkan siapa-siapa dalam penanganan kasus ini, tetapi menurut saya, kita selalu terlambat mengambil langkah-langkah antisipatif untuk mencegah terjadinya perang tanding antar kedua suku ini," katanya.
"Kalau tidak salah, kasus tanah yang melibatkan kedua suku ini sudah lama terjadi, dan reaksi-reaksi yang mengindikasikan kemungkinan terjadinya "perang tanding" itu sudah mulai nampak," katanya.
Tentunya aparat pemerintahan desa maupun kecamatan setempat sudah pasti tidak tinggal diam, kata doktor lulusan Undip Semarang 2007 dengan disertasi "Peradilan Pengadilan Rekonsiliatif dalam Tradisi adat Lamaholot" itu.
Demikian pula aparat keamanan juga pasti sudah pernah disiagakan untuk mencegah agar konflik itu tidak pecah, tambah Magister Undip 2005 dengan tesis "Pembunuhan dalam kasus tanah dan wanita di Adonara, Flores Timur, sebuah analisis budaya hukum" itu.
Namun harus diakui pula bahwa upaya meredam konflik seperti itu hanya bisa mengamankan situasi sesaat.
"Ketika ada aparat pemerintah dan keamanan yang disiagakan di lokasi konflik, pasti situasi kelihatan aman-aman saja," katanya.
Pada hal, sesungguhnya masing-masing pihak sedang mencari siasat dalam senyap untuk melumpuhkan lawan.
Baca juga: Pengamat: Perlu tim mediator adat selesaikan "perang tanding" Adonara
Baca juga: Mahasiswa Witihama ajak milenial hindari provokasi konflik di Adonara
Baca juga: Redam konflik antarsuku, ratusan personel BKO dikirim ke Adonara
Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020