Wartawan ANTARA melaporkan, kejadian yang membuat penumpang --khususnya kaum perempuan--ketakutan itu terjadi Rabu sore sekira pukul 16.00 WIB, selepas KRL Ekonomi AC baru tiga menit berjalan dari
Stasiun Bojong Gede.
Sebuah lemparan batu yang sangat keras membuat empat perempuan, satu diantaranya sedang menggendong bayi, langsung terkaget-kaget karena
bunyinya sangat keras.
"Astaghfirullah...kita ini kan juga orang tidak punya, kok
tega-teganya ada melakukan tindakan pelemparan pada kereta ini," kata ibu yang sedang menggendong bayi yang masih merah itu.
Penumpang yang duduk di sebelahnya juga tidak habis pikir dengan aksi vandalisme orang yang tidak bertanggung jawab itu.
Baru saja sekira lima menit memperbincangkan peristiswa itu, sebuah lemparan keras kembali terjadi di gerbong lainnya, dan suaranya juga cukup keras.
Petugas KRL berseragam biru yang bertugas memeriksa karcis penumpang, atas peristiwa itu hanya meminta agar para penumpang menutup kaca jendela KRL dengan pelindung dari kasa.
"Tetap hati-hati saja," kata petugas itu.
Kepala Balai Yasa (bengkel kereta api) Manggarai Jakarta, Hendratmo Aji tahun lalu menyatakan bahwa aksi vandalisme dan perusakan seperti merobek jok bangku, pencurian interior kereta, corat-coret, hingga
pelemparan kaca kereta, masih sering terjadi terutama di KA ekonomi.
Kejadian itu membuat perawatan dan perbaikan sarana dan prasarana kereta selalu harus beradu kecepatan dengan perusakan yang terjadi.
Aksi vandalisme itu menyebabkan biaya perawatan kereta api membengkak hingga Rp18,4 miliar untuk memperbaiki 215 gerbong yang rusak tahun lalu.
Cendekiawan muda Bogor yang juga Ketua Umum Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Institut Pertanian Bogor (IPB) Ahmad Fahir menilai bahwa aksi vandalisme itu harus segera dicarikan solusinya oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI).
"Perlu dicarikan solusi penanganannya, karena para pengguna jasa KRL yang notabene warga dari golongan ekonomi menengah ke bawah itu, juga bisa terancam jiwanya," katanya.
Ia mengimbau kepada para pelaku vandalisme untuk bisa berempati dengan memikirkan bagaimana kalau dirinya atau anggota keluarganya yang menjadi korban perilaku yang disebutnya "biadab" itu.
"Apakah pelaku itu juga berfikir bagaimamana kalau dia atau keluarganya menjadi korban akibat pelemparan batu itu," katanya.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009